Hari ini saya diberi banyak pengertian oleh Bapak. Rasanya campur aduk, antara sedih dan seneng. Sedih karena sebagai anak nggak bisa menjadi seperti yang beliau harapkan. Senang karena Bapak mau bercerita. Dulu, sewaktu aku masih kecil, Mbak dan Mas di rumah pas lagi libur kuliah juga digituin. Takira mereka disidang, dimarahi atau apalah itu, soalnya nada Bapak melengking tinggi-tinggi. Aku pun takut. Tapi ternyata mereka sedang mengalami apa yang aku alami barusan. Meskipun aku dapat sedikit mengimbangi pengetahuan yang dimiliki Bapak, ikut melontarkan pendapat, dan menyanggah pendapat, tapi pengalaman kami berbeda. Tentulah Bapak lebih berilmu. Apalagi dengan banyak guru dan banyak kitab yang telah melewati kehidupan beliau, aku nggak ada apa-apanya. Seperti yang beliau katakan, aku dan kakak-kakakku belum paham dan belum sedikit pun mengamalkan ajaran tauhid. Bapak bercerita, semua ilmu yang beliau pelajari pun belum tuntas, masih hanya tingkat "wustho", setengahnya saja. Belum sampai ke tingkatan paling tinggi, karena dulu keburu menikah dengan Ibuk, dan waktunya agak habis untuk meghidupi anak istri. Bapak dulu tidak sekolah, semenjak kecil sudah belajar kitab dengan para 'Ulama. Jadi ketika menikah, bapak benar-benar membanting tulang memulai usaha dari nol. Sampai sekarang Alhamdulillah diberi banyak rejeki oleh Allah SWT, mungkin karena Allah menganggap Bapak pantas mendapatkannya, atas kerja keras, doa, dan kepasrahan hidupnya yang dipersembahkan untuk Tuhannya dan manusia lain. Aku pantas menirunya. Dibandingkan aku yang lulusan Apoteker ini, tidak begitu tahu bagaimana mengejar rejeki yang sudah ditangguhkan oleh Allah SWT untukku. Tapi aku hanya berprinsip, hidupku tidak untuk mencari harta, tapi mencari hikmah dibalik setiap kejadian yang menimpaku dan orang-orang di sekitarku. Dengan begitu, Rejeki akan datang sendiri. Dengan begitu pula, secara nggak langsung sebenarnya Bapak tak perlu sebegitu kecewa, karena prinsipku tersebut mengandung tauhid. Aku yakin. Meskipun berat sekali mengamalkannya. Harus sabar dan selalu ingat Gusti Allah. Yah.. meskipun juga dalam prinsip Bapak, bekerja itu wajib menurutnya. Bagiku, berusaha itu wajib. Bagi kami berdua, hasil dari dari berusaha dan bekerja tetap terserah Gusti Allah. Yang penting sudah melaksanakan kewajiban, bekerja dan berusaha. Entah jadi kaya atau miskin, semua ada hikmahnya.
Malam ini Bapak juga membacakan "Iyya kana'budu wa Iyya kanasta'iin". Bahwa menjadi seorang hamba yang selalu menyembahNya itu belum cukup, karena lebih bagus kalau kita pasrah dan memohon pertolonganNya dalam keadaan apa pun kita. Allah SWT pun nggak akan pernah menyia-nyiakan pengharapan hambaNya. Atas ajaran siMbah, aku pun juga berprinsip bahwa Allah SWT memperjalankan hidupku yang mana aku diharuskan pasrah kepada segala kehendakNya. Sehingga setiap ada kejadian, aku selalu ingat, "oh.. jadi Allah ingin (membuat) aku begini atau begitu". Tak ada prasangka buruk kepadaNya, karena semua kehendakNya itu pas untuk hambaNya termasuk diriku. Wahai Bapak, jangan kecewa, aku pun juga memiliki prinsip demikian. Hanya, memang, mengamalkannya itu sungguh sulit. Bagaimana engkau bisa sekonsisten itu, Bapak? Itu yang ingin aku tiru darimu.
Bapak juga bercerita bagaimana seorang manusia bisa mabrur meskipun belum menunaikan haji. Tanda-tanda manusia yang mabrur tersebut adalah, semua manusia lain yang hidup didekatnya sejahtera. Lantas aku berpikir, seorang pemimpin haruslah mabrur. Karena bila dia mabrur, semua rakyatnya pastilah sejahtera. Mari kita lihat pada kenyataanya, Negara Indonesia masih belum begitu sejahtera secara merata. Kesenjangan semakin tinggi. Pemimpin semakin seenaknya sendiri. Sulit bukan mencari pemimpin yang mabrur. SBY? Jauuuuuuuhhhhh! Tandanya, benar apa yang dikatakan 'Ulama. Bahwa sebenarnya manusia berpredikat mabrur yang hidup di dunia maupun yang sudah meninggal itu sedikit sekali. Orang yang menunaikan haji, belum tentu mabrur. Bahkan, saat zaman canggahnya Rasulullah pun, semua yang menunaikan ibadah haji di tanah suci tidak ada satu pun yang mabrur, konon katanya. Mari kita bayangkan, di zaman tersebut, tentulah masih banyak orang baik, karena lebih dekat nasabnya ke zaman Rasulullah. Sekarang? sudah berapa ribu tahun jarak zaman kita dengan zaman Rasulullah? Siapakah gerangan manusia mabrur di zaman sekarang? Mari sama-sama kita cari, mulai dari hati kita masing-masing. Itu pesan Bapak.
Bapak memberikanku PR yang berat, namun tidak dipungkiri, memang wajib aku mengerjakannya. Yaitu belajar tauhid dan mengamalkannya sepanjang hayat. Selalu berusaha untuk teringat pada Gusti Allah di 4320 kali hembusan nafasku setiap harinya. Tidak banyak tidur, tidak banyak bermain yang membuatku lupa padaNya. Itu satu-satunya cara membuat Bapak bangga padaku. Karena, lulus cum laude, lulus S1, lulus apoteker, bisa bekerja dengan gaji sebesar apa pun, bisa lulus Ph. D di universitas ternama sedunia, maupun menjadi profesor kelak, tak sedikit pun Bapak bergeming untuk mengungkapkan kebanggaannya padaku.
Bapak sudah tua dan merasa tidak banyak memberikan bekal ilmu untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, aku tak boleh membuatnya semakin sedih, kan.
I love you both, Bapak dan Ibuk. Always, always... :')
Malam ini Bapak juga membacakan "Iyya kana'budu wa Iyya kanasta'iin". Bahwa menjadi seorang hamba yang selalu menyembahNya itu belum cukup, karena lebih bagus kalau kita pasrah dan memohon pertolonganNya dalam keadaan apa pun kita. Allah SWT pun nggak akan pernah menyia-nyiakan pengharapan hambaNya. Atas ajaran siMbah, aku pun juga berprinsip bahwa Allah SWT memperjalankan hidupku yang mana aku diharuskan pasrah kepada segala kehendakNya. Sehingga setiap ada kejadian, aku selalu ingat, "oh.. jadi Allah ingin (membuat) aku begini atau begitu". Tak ada prasangka buruk kepadaNya, karena semua kehendakNya itu pas untuk hambaNya termasuk diriku. Wahai Bapak, jangan kecewa, aku pun juga memiliki prinsip demikian. Hanya, memang, mengamalkannya itu sungguh sulit. Bagaimana engkau bisa sekonsisten itu, Bapak? Itu yang ingin aku tiru darimu.
Bapak juga bercerita bagaimana seorang manusia bisa mabrur meskipun belum menunaikan haji. Tanda-tanda manusia yang mabrur tersebut adalah, semua manusia lain yang hidup didekatnya sejahtera. Lantas aku berpikir, seorang pemimpin haruslah mabrur. Karena bila dia mabrur, semua rakyatnya pastilah sejahtera. Mari kita lihat pada kenyataanya, Negara Indonesia masih belum begitu sejahtera secara merata. Kesenjangan semakin tinggi. Pemimpin semakin seenaknya sendiri. Sulit bukan mencari pemimpin yang mabrur. SBY? Jauuuuuuuhhhhh! Tandanya, benar apa yang dikatakan 'Ulama. Bahwa sebenarnya manusia berpredikat mabrur yang hidup di dunia maupun yang sudah meninggal itu sedikit sekali. Orang yang menunaikan haji, belum tentu mabrur. Bahkan, saat zaman canggahnya Rasulullah pun, semua yang menunaikan ibadah haji di tanah suci tidak ada satu pun yang mabrur, konon katanya. Mari kita bayangkan, di zaman tersebut, tentulah masih banyak orang baik, karena lebih dekat nasabnya ke zaman Rasulullah. Sekarang? sudah berapa ribu tahun jarak zaman kita dengan zaman Rasulullah? Siapakah gerangan manusia mabrur di zaman sekarang? Mari sama-sama kita cari, mulai dari hati kita masing-masing. Itu pesan Bapak.
Bapak memberikanku PR yang berat, namun tidak dipungkiri, memang wajib aku mengerjakannya. Yaitu belajar tauhid dan mengamalkannya sepanjang hayat. Selalu berusaha untuk teringat pada Gusti Allah di 4320 kali hembusan nafasku setiap harinya. Tidak banyak tidur, tidak banyak bermain yang membuatku lupa padaNya. Itu satu-satunya cara membuat Bapak bangga padaku. Karena, lulus cum laude, lulus S1, lulus apoteker, bisa bekerja dengan gaji sebesar apa pun, bisa lulus Ph. D di universitas ternama sedunia, maupun menjadi profesor kelak, tak sedikit pun Bapak bergeming untuk mengungkapkan kebanggaannya padaku.
Bapak sudah tua dan merasa tidak banyak memberikan bekal ilmu untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, aku tak boleh membuatnya semakin sedih, kan.
I love you both, Bapak dan Ibuk. Always, always... :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar