Jumat, 29 November 2013

Liquid-Alike

In the end of the day, before leaving my office after work, I am making this story for you joyfully, dear readers. Just enjoy to read it, OK!

Once in a city park I met a stranger. He is a Psychologist who began to chat with me when I was looking around. I wonder he had long minutes followed me since at the first he directly looked at my eyes and stopped my walks. How surprised! Why I had long walks alone in that very big city is a first question he asked me. I tried not to look too surprised or anxious by answering him, "Because it's fun enough to do it". He offered me a seat to my next stop after he knew I want to go to Culinary Area in Sabang near Thamrin Street and I said no. For sudden, he successfully made me tell him some stories about my activities and how I could trapped walking alone in that city. He told me back about him and some psychological meanings of mine as long as he knows. I was a melancholic, kinetics, and full of inspiration in his perspective. That's why he followed me. Do you know, how could I go away after all those assessments he just said to me? The conversation was going far and fun enough. I was so rare to meet psychologist who easily says something and tells many kinds of psychological statement which almost hit me.


Well, it’s not the first time for me to meet stranger in my journey. I ever met a Freeport employer in the Train and we talked for about 6 hours. I found that in the middle of employment, he now becomes a new student in Economy Faculty of Indonesia University. I accommodated his wishful stories for his next future and we gave suggestions for each other. I cannot say much about me to those strangers because I am introvert enough. So, in the way we talked, I just responded them interactively. I’m glad that I could blend to the conversation arisen. I’m glad that I wasn’t born in the Middle East where women cannot have their full right to go alone everywhere they want without permission. I’m glad that I have self-reliance as woman to live in this beautiful and chaotic world. As long as I do not take steps regarding my intentions beyond the pale, I will gladly have some journeys again and experience other windows through people, place, or event.

It is a resignation becoming a 23th year-old-girl who doesn't have a partner to do the same thing but enjoys her life peacefully.

Rabu, 27 November 2013

Break The Boundary #4

Well, today I rendered up some chats as my ideas and old passion came up. There were two genius friends of mine who told me valuable informations and stories. So, I was fulls of the joy of the harvest time! Just at least I regain my mood to have scheduled dreams again. They lit up an inspiration to reach something I toughly achieve. The two people are genius and genius. Suddenly, one of them, the boy, told me many things about him which impress me and shrink my self. That's why I have a reason to encourage myself. I've followed his twitter for 4 yearsand I didn't know that we have the same passion. He was successfully chasing everything he wants, peacefully. From the beginning he started his career, he didn't target it soarly like I did. Oh God, You are really something. But I never lose desire. Night by night, I break the boundary. I know the door will finally open for me, so widely.

Selasa, 19 November 2013

SMG #1

I do not continue one of my hobby in this age after having my graduation or being far from Jogja. Since I stayed with a generous family, instead of coming by a cafe and reading my pocket book in Singosari street (I really want it though) after work I'd rather go home so I don't have late dinner or bedtime or a chat with everybody home. I think I can do that in my precious weekend as planned, but it didn't work as well. Now I miss my times in Jogja so badly!

Sabtu, 02 November 2013

Bumi Telah Ada di Lubuk Yogyakarta



Di sana, semuanya terjadi. Tempat itu, tak rela aku meninggalkannya. Entah kapan lagi aku dapat menghabiskan banyak hari kembali, di sana. Days and nights for 5 years. Semenjak bumi membawa hal itu, bumi selalu meliputi hari-hari di Yogya. Tak pernah absen. Bumi menitipkan banyak hal sebagai energi. Kugunakan ketika aku merasa hilang arah. Setiap malam aku isi energi dengan berada di dekat hal itu. Pagi sampai siang, terkadang sampai sore aku membawanya serta ke kampus, ke tempat-tempat aku bersama kawan-kawanku berada, kusimpan ia di lubuk hati terdalam yang tak kubiarkan orang lain mengoyaknya. Di ruang kecil itu, di rumah itu, di kota itu, dia hadir meski hanya dalam imajinasi dan rasa sampai pada kehadirannya kembali di tengah kota itu, di pemberhentian keretanya. Aku berangkat dari kamar itu, dari rumah itu, dari dekatnya menuju dekatnya yang mewujud di depan mata. Dari pemberangkatan keretanya, aku pulang ke dekatnya, di rumah itu, di kamar itu lagi. Selama 5 tahun ini, begitu dan begitu. Tak pernah bosan di rasa, malah semakin dalam tak terkoyak.

Di sana semua terjadi, seawal dia datang seperti telah siap mental untuk menjalin hidup bersama selamanya dengan segala angan dan janji. Sampai pertengahan dia terlihat lelah dan asik dengan dunianya, dengan pikiran barunya yang ternyata begitu menyukai kesendirian menyukai petualangan tanpaku yang terkesan tak suka kemana dan tak mau kemana karena Yogya yang sebegini nyaman. Sementara aku tak bergeming, terus mendambanya, tak peduli mulut orang. Sampai akhirnya nanti aku tak tahu, yang bukan di sana lagi semua akan terjadi, dan aku masih tak tahu.

Di sana semua terjadi, waktu-waktu aku merindu, waktu-waktu aku bertemu, waktu-waktu aku sakit hati karenanya, waktu-waktu aku makan dan minum dengan mengingatnya, waktu-waktu aku belajar sambil membayangkannya, waktu-waktu aku tidur memimpikannya. Semua rasa itu masih jelas di dalam sini. Semua rasa itu telah melagu dengan melodi yang abadi sampai mati tersimpan di otak dan hati. Mengkristal tak mau pecah.

Ketika kali ini harus meninggalkannya di kamar itu, di rumah itu, di kota itu, aku ingin membawanya serta namun tak bisa. Kapankah dia yang lain benar-benar di diriku setiap saat? Mengobati rindu yang menggelora.. Meskipun aku sanggup sendiri, aku benar-benar tak mau jauh darinya lagi :(

Selasa, 08 Oktober 2013

Break The Boundary #3

In my head, there are several world of dreams which are so much different from one each other. Sometimes I feel confuse when those dreams appear together in my mind until eventually they are directed to make some actions to do. Do I have to make some schedules to tidy them up because I need each dream emerges out sometimes in a scheduled time? I just have Monday until Sunday as everyone has. haha..
Have you ever been like me, people?

Selasa, 24 September 2013

As Pharmacist

Seharian tadi di rumah sakit, menemani ibuk rawat jalan. Sebagai seseorang bergelar apoteker dan mengetahui sedikit masalah kesehatan manusia, aku tahu kalau ibuk sudah lama membutuhkan obat. Awal-awalnya, beberapa tahun lalu aku antar ibuk cek gula darah. Hasilnya, gula darah tinggi. Setelah itu rutin aku bawakan obat penurun gula darah. Beberapa bulan kemudian, efek tingginya gula darah membuatnya harus menjalani operasi katarak di RS. Yap, Yogyakarta. Untung saja kondisi liver dan ginjal ibu masih baik-baik saja. Untung saja ibuk nggak suka makanan asin, sehingga resiko tekanan darah tinggi nggak ada, sehingga tak sampai mengalami stroke. Kini mata ibuk baik-baik saja. Gula darahnya juga rutin aku cek dan terkontrol. Asupan makanan terjaga. Namun sudah sebulan ini muncul penyakit baru setelah ibuk mengeluh bagian lututnya nyeri kalau dipakai buat sholat. Aku baru sempat mencarikan dokter penyakit dalam dan rehab medik semingguan ini. Ibu pun tadi didiagnosa osteoarthritis setelah pemeriksaan kondisi tulang lutut menggunakan X-Ray. Suatu waktu nanti, dalam waktu dekat ini, aku akan membawa ibuk untuk menjalani pengobatan suntik asam hyaluronat. Semoga saja terapinya berhasil. Meskipun hanya bertahan 6 bulan, sehingga harus rajin kontrol juga.

Beginilah aku sebagai apoteker keluarga..

Senin, 23 September 2013

Medicament in 23

Hari ini saya diberi banyak pengertian oleh Bapak. Rasanya campur aduk, antara sedih dan seneng. Sedih karena sebagai anak nggak bisa menjadi seperti yang beliau harapkan. Senang karena Bapak mau bercerita. Dulu, sewaktu aku masih kecil, Mbak dan Mas di rumah pas lagi libur kuliah juga digituin. Takira mereka disidang, dimarahi atau apalah itu, soalnya nada Bapak melengking tinggi-tinggi. Aku pun takut. Tapi ternyata mereka sedang mengalami apa yang aku alami barusan. Meskipun aku dapat sedikit mengimbangi pengetahuan yang dimiliki Bapak, ikut melontarkan pendapat, dan menyanggah pendapat, tapi pengalaman kami berbeda. Tentulah Bapak lebih berilmu. Apalagi dengan banyak guru dan banyak kitab yang telah melewati kehidupan beliau, aku nggak ada apa-apanya. Seperti yang beliau katakan, aku dan kakak-kakakku belum paham dan belum sedikit pun mengamalkan ajaran tauhid. Bapak bercerita, semua ilmu yang beliau pelajari pun belum tuntas, masih hanya tingkat "wustho", setengahnya saja. Belum sampai ke tingkatan paling tinggi, karena dulu keburu menikah dengan Ibuk, dan waktunya agak habis untuk meghidupi anak istri. Bapak dulu tidak sekolah, semenjak kecil sudah belajar kitab dengan para 'Ulama. Jadi ketika menikah, bapak benar-benar membanting tulang memulai usaha dari nol. Sampai sekarang Alhamdulillah diberi banyak rejeki oleh Allah SWT, mungkin karena Allah menganggap Bapak pantas mendapatkannya, atas kerja keras, doa, dan kepasrahan hidupnya yang dipersembahkan untuk Tuhannya dan manusia lain. Aku pantas menirunya. Dibandingkan aku yang lulusan Apoteker ini, tidak begitu tahu bagaimana mengejar rejeki yang sudah ditangguhkan oleh Allah SWT untukku. Tapi aku hanya berprinsip, hidupku tidak untuk mencari harta, tapi mencari hikmah dibalik setiap kejadian yang menimpaku dan orang-orang di sekitarku. Dengan begitu, Rejeki akan datang sendiri. Dengan begitu pula, secara nggak langsung sebenarnya Bapak tak perlu sebegitu kecewa, karena prinsipku tersebut mengandung tauhid. Aku yakin. Meskipun berat sekali mengamalkannya. Harus sabar dan selalu ingat Gusti Allah. Yah.. meskipun juga dalam prinsip Bapak, bekerja itu wajib menurutnya. Bagiku, berusaha itu wajib. Bagi kami berdua, hasil dari dari berusaha dan bekerja tetap terserah Gusti Allah. Yang penting sudah melaksanakan kewajiban, bekerja dan berusaha. Entah jadi kaya atau miskin, semua ada hikmahnya.

Malam ini Bapak juga membacakan "Iyya kana'budu wa Iyya kanasta'iin". Bahwa menjadi seorang hamba yang selalu menyembahNya itu belum cukup, karena lebih bagus kalau kita pasrah dan memohon pertolonganNya dalam keadaan apa pun kita. Allah SWT pun nggak akan pernah menyia-nyiakan pengharapan hambaNya. Atas ajaran siMbah, aku pun juga berprinsip bahwa Allah SWT memperjalankan hidupku yang mana aku diharuskan pasrah kepada segala kehendakNya. Sehingga setiap ada kejadian, aku selalu ingat, "oh.. jadi Allah ingin (membuat) aku begini atau begitu". Tak ada prasangka buruk kepadaNya, karena semua kehendakNya itu pas untuk hambaNya termasuk diriku. Wahai Bapak, jangan kecewa, aku pun juga memiliki prinsip demikian. Hanya, memang, mengamalkannya itu sungguh sulit. Bagaimana engkau bisa sekonsisten itu, Bapak? Itu yang ingin aku tiru darimu.

Bapak juga bercerita bagaimana seorang manusia bisa mabrur meskipun belum menunaikan haji. Tanda-tanda manusia yang mabrur tersebut adalah, semua manusia lain yang hidup didekatnya sejahtera. Lantas aku berpikir, seorang pemimpin haruslah mabrur. Karena bila dia mabrur, semua rakyatnya pastilah sejahtera. Mari kita lihat pada kenyataanya, Negara Indonesia masih belum begitu sejahtera secara merata. Kesenjangan semakin tinggi. Pemimpin semakin seenaknya sendiri. Sulit bukan mencari pemimpin yang mabrur. SBY? Jauuuuuuuhhhhh! Tandanya, benar apa yang dikatakan 'Ulama. Bahwa sebenarnya manusia berpredikat mabrur yang hidup di dunia maupun yang sudah meninggal itu sedikit sekali. Orang yang menunaikan haji, belum tentu mabrur. Bahkan, saat zaman canggahnya Rasulullah pun, semua yang menunaikan ibadah haji di tanah suci tidak ada satu pun yang mabrur, konon katanya. Mari kita bayangkan, di zaman tersebut, tentulah masih banyak orang baik, karena lebih dekat nasabnya ke zaman Rasulullah. Sekarang? sudah berapa ribu tahun jarak zaman kita dengan zaman Rasulullah? Siapakah gerangan manusia mabrur di zaman sekarang? Mari sama-sama kita cari, mulai dari hati kita masing-masing. Itu pesan Bapak.

Bapak memberikanku PR yang berat, namun tidak dipungkiri, memang wajib aku mengerjakannya. Yaitu belajar tauhid dan mengamalkannya sepanjang hayat. Selalu berusaha untuk teringat pada Gusti Allah di 4320 kali hembusan nafasku setiap harinya. Tidak banyak tidur, tidak banyak bermain yang membuatku lupa padaNya. Itu satu-satunya cara membuat Bapak bangga padaku. Karena, lulus cum laude, lulus S1, lulus apoteker, bisa bekerja dengan gaji sebesar apa pun, bisa lulus Ph. D di universitas ternama sedunia, maupun menjadi profesor kelak, tak sedikit pun Bapak bergeming untuk mengungkapkan kebanggaannya padaku.

Bapak sudah tua dan merasa tidak banyak memberikan bekal ilmu untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, aku tak boleh membuatnya semakin sedih, kan.

I love you both, Bapak dan Ibuk. Always, always...    :')