Awal tinggal di Eropa aku nggak
peduli kalau aku minoritas. Hidupku masih berjalan normal seperti aku tinggal
di Indonesia, asal aku masih bisa mengurus diriku sendiri. Begitulah pikirku.
Aku muslim, orang Asia, Indonesia, Jawa, orang Timur, yang mana berkebalikan
sekali dengan orang Eropa baik dari cara makan, minum, bergaul, berpakaian,
berbicara, tertawa, menyapa, mandi, pokoknya segala hal tentang budaya. Awalnya
hidupku masih biasa, karena menurutku sejak di indonesia aku orang yang cukup
toleran akan perbedaan. Orang lain mau apa terserah. Kawan-kawan mau minum bir,
makan daging babi, masak daging anjing, memanggang daging menjangan, mabuk,
pesta sampai malam, terserah. Yang penting aku hidup dengan caraku sendiri,
tidak bisa diganggu gugat, caraku yang tidak banyak merugikan dan merepotkan
orang-orang di sekitar.
Sampai tiba saatnya aku diundang
pesta oleh kolega di kampus dan di apartemen. Karena yang mengundang menyangkut
kehidupan inti sosialku, maka aku memenuhi undangan mereka. Sebelum-sebelumnya
aku juga diundang pesta di bar dan di suatu tempat tertentu, karena yang
mengundang bukan kawan dekat, maka tidak aku pedulikan. Masa bodoh kalau
dianggap tidak gaul. Aku selalu mengatakan ke kawan-kawan "I don't like
party, I don't like crowded place, I'm sorry". Namun aku menghargai mereka
yang mengundangku, yang menyadari keberadaanku di sini (sehingga mereka
mengundang). Menjelang natal ini, teman di apartemen dan laboratorium
mengundang dinner party.
#1
Dinner Party bersama teman di
laboratorium berlangsung di daerah Malden, desa kecil area kuliner dekat
Nijmegen yang dapat ditempuh dengan bus selama 30 menit. Mereka memesan
restoran Italy dan Jepang, Lime Restaurant. Hidangan yang disajikan berupa
wine, red wine, cookies, sushi, salad, cocholate, ikan koolvis, daging
menjangan, potato, peer, ice cream, pancake, pokoknya sampai lambung kita tidak
muat menampung semuanya. Semuanya gratis karena Prof. Geert yang baik hati. Di
sana kami berbagi cerita. Terutama tentang pasangan masingmasing. Aku
menceritakan bagaimana aku berkenalan dengan mantan pacar dan sampai sekarang
yang sudah menjadi suami saya. Ketika aku bercerita kalau aku LDR sejak kami
pacaran, mereka menganggapku gila, tidak habis pikir, tidak bisa membayangkan,
dan demi apa aku menjalani hidup seperti ini. Suzanna bahkan berkata "Even
if I'm capable of taking my PhD in USA, I won't do that, I don't like to be
separated from my boyfriend. I'd rather do something makes much sense for
me". Manja, kawanku bertanya mengapa aku tidak minum wine padahal menurutnya
wine sangat enak. Lalu aku bingung menjawabnya. "Just because wine usually
contains much alcohol, I do not drink alcohol". Tidak puas dia bertanya,
mengapa? Aku mendapat clue untuk menjawab secara ilmu medis. “You must ever
read that if we drink alcohol while we are in the middle of consuming drugs,
the drug effect will be more toxic, its concentration in the blood will be
significantly elevated. In other words, alcohol is intoxicating. It is worse
when we drink alcohol while we consume so much fatty food, or herb-rich food”
Dia bilang kalau alkohol tidak dikonsumsi setiap hari, paling-paling kalau lagi
pesta. “Who can guarantee me not become contagious? You said that wine is
really good, I can not take for granted something like this. The same as
smoking, I won’t try to smoke just for knowing how it feels like.” Teman-teman
berkomentar kalau aku sungguh normal, orang yang sangat normal dan mereka tidak
normal. Well, I do not say that, they do. Aku pun bertanya mengapa mereka
memakan daging rusa, mereka bilang karena lezat. Aku bilang, aku tidak doyan,
tidak biasa, dan merasa aneh kalau aku sampai memakannya. Aku bilang aku hanya
makan daging ayam dan daging sapi, itu pun yang bercap halal. Sehingga mereka
memesankanku ikan laut untuk main course-nya. Thank you! Dari obrolan
selanjutnya aku baru tahu kalau teman seruanganku, orang Polandia, seorang
lesbi. Satunya gay. Oh my God.. Aku kira selama ini mereka normal. Hingga detik
ini aku menjadi bingung bagaimana harus bergaul dengan mereka, bingung bagaimana
menyamakan cakrawala sudut pandang. Dalam hidup, it is OK if we have different
perspective, but it will be easier if we have the same horizon of to where we
look at, so at least we can point to somewhere or something the same. Takut
juga kan bergaul sama lesbi, (dia lakinya atau dia perempuannya? Aku nggak tau
momen seperti apa sehingga aku bertanya dia ini cowoknya atau ceweknya?). Trus
ada gay, bagaimana aku harus memperlakukan dia? Aku memang kurang membaca
buku-buku anti-mainstream tentang hal-hal semacam itu. Aku tidak berminat
karena aku pikir aku tidak akan pernah tersentuh hal-hal semacam itu dalam
kehidupan sosialku. Ternyata, dunia ini tidak seluas yang aku kira.
#2
Teresa (Tesa) mengundangku pesta
makan malam sebelum dia pulang, sebagai Christmas dinner. Aku menyambut baik,
dia bertanya apa yang akan aku masak atau bawa buat makanannya. Aku sedang
tidak ada ide, maka aku spontan bilang kalau aku mau membawakan mereka Yoghurt
Milbona yang enak itu. She replied “What? But we will not have breakfast, it’s
dinner! Haha..” Dia tertawa, aku pun tertawa balik dengan kebingungan. Memangya
ada aturan kapan harus makan yoghurt? “But why? Can we eat yoghurt at dinner?
It’s really healthy anyway.” Aku jawab. Hari berikutnya Tesa mengirimiku pesan “Sorry
for bothering you, but I don’t know what you will do tomorrow L at dinner party, I don’t know
why you want to bring yoghurt.” Trus aku musti gimana.. Kan ya aku tidak tahu
aku harus bawa apa, mereka suka makan babi dan minum anggur. Sehingga aku balsas
“I’m sorry, because I never go to Christmas dinner so I don’t have idea what to
bring for food or drink. Well, I was thinking to make Macaroni Schotel, I think
it is good idea since we really loved Italian macaroni!” Teresa bilang, “Really?
That will be fine. Just tell me if you need help”. Sehingga pagi harinya aku
pergi ke took Turki membeli daging sapi cincang halal. Tentu saja HARUS halal.
Aku tidak mau makan daging yang tidak halal sekalipun di Eropa, aku membeli
macaroni, dan keju. Sore sepulang dari lab aku mulai meracik, 1 jam setelah
dioven akhirnya jadi. Estelle membuat pancake dan waffle sebagai dessert. Teesa
membuat salad, mentimun mayonnaise, salame (daging babi), terong rebus,
sandwich, dan oseng paprika. Caterina membuat sekotel juga! Sekotel versi
Italia tapi dicampur daging babi L. Leon membuat steak babi, Vlad dan Kevin membawa Alcohol
dan Wine, Tesa dan Leon juga membuat jamu saripati red wine yang dicampur
markisa dan apel, finally Jung membawa minuman yang dapat aku minum dengan
lega.. Cocacola dan Juice. Aku pun harus pilih-pilih hidangan yang tersaji di
meja. Jangan sampai mengambil makanan yang tidak halal. Di pesta makan malam
itu pun ada ritual tukar kado. Namun Tesa mengkoreksiku “We are not exchanging Christmas
presents, but we give Christmas presents”. Okay, noted.
Jadi, kali ini, setelah hidup selama 4 bulan
di Eropa, aku baru benar-benar merasa culture-shocked!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar