Bila aku mendengarkan
cerita-cerita Maha Guru, maka Maha Guru sedang mengarahkanku ke arah vertikal. Ketika
aku membaca karya-karya Pram, maka Pram sedang mengarahkanku ke arah
horizontal. Ya, Pram memang sedang membahas Bumi Manusia. Namun, segalanya bertujuan
sebanding. Beruntungnya aku dapat dipertemukan dan berkesempatan membaca dan
hanyut ke dalam Maha Karya manusia legenda ini. Berikut ini cuplikan
membekaskan makna ke dalam sanubari :
#
Pengalaman di
Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang pribumi
ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan
berorganisasi juga tinggi. Sebaliknya, ia juga mengakui kehebatan Belanda dalam
memilih tenaga perang.
Prasangkaku,
sekali waktu ia bercerita, bahwa perang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan
mampu menghadapi senapan dan meriam, juga keliru. Orang Aceh punya cara
berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dan dengan
kepercayaannya, telah banyak kekuatan kompeni
dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka membela
apa yang mereka anggap menjadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang,
sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke,
dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
Pikiran Minke dari ucapan
Jean Marais. (Bumi Manusia, p. 87)
#
“Apa tidak kau
baca koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta pengangkatan
jadi bupati? Bupati B.? Tuan Asisten Residen B., Tuan Residen Surabaya, Tuan
kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir. Apa mungkin seorang siswa
H.B.S. tidak membaca koran? Kalau tidak, apa mungkin tak ada orang lain
memberitakan? Nyaimu itu, apa dia tidak bisa membacakan untukmu?”
Memang berita
mutasi tidak pernah menarik perhatianku: pengangkatan, pemecatan, perpindahan,
pensiun. Tak ada urusan! Kepriayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat
jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan
jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan
persoalannya.
Minke. (Bumi Manusia, p.
186)
#
Rasa-rasanya
aku menjadi pingsan membacai surat-surat resmi dengan bahasa yang dipergunakan
bagitu aneh. Sedikit dari isinya dapat kupahami benar: tak mengandung perasaan
manusia –menganggap manusia-manusia hanya sebagi inventaris.
Dalam mendengarkan
perkataan Mama, terngiang-ngiang kata-kata Bunda: Belanda sangat, sangat
berkuasa, namun tidak merampas istri orang seperti raja-raja Jawa. Bunda? Tidak
lain dari menantumu, istriku, kini terancam akan mereka rampas, merampas anak
dari ibunya, istri dari suaminya, dan hendak merampas juga jerih payah Mama
selama lebih dari dua puluh tahun tanpa mengenal hari libur. Semua hanya
didasarkan dari surat-surat indah jurutulis-jurutulis ahli, dengan tinta hitam
tak luntur yang menembus sampai setengah tebal kertas.
Minke. (Bumi Manusia, p.
487)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar