Suatu hari di Jogja.
Setelah pulang dari kampus, rumah kakakku sepi. Keponakanku sedang bermain di luar bersama teman sekolahnya. Aku menuju meja makan, melihat hidangan makan malam sudah rapi tertata di meja. Mbak Umilah yang memasaknya. Keponakanku pun pulang, berteriak-teriak dengan suara khasnya mencari mamanya, mengira mamanya sudah pulang."Lek Niha, mama mana?" tanyanya. "Belum pulang sayang", jawabku. Dia balik badan dan kembali bermain di luar, di rumah tetangga. Anak itu tidak bisa dipisahkan dari ibunya. Ia selalu menghargai kakakku sebagai sebenar-benar ibunya. Hal yang paling membuatnya sedih adalah bila kakakku sedih, marah, atau merasa ibunya sedang tidak serius kepadanya. Itu membuatku sangat haru, betapa manisnya dia.
Kakakku pun datang, pulang dari kerja dan mencari anaknya. Suaminya waktu itu sedang ke luar negeri entah kemana aku tidak ingat saking seringnya dinas. Aku bilang kalau anaknya sedang bermain entah dimana. Kakakku bilang "kamu ini gimana kok nggak tahu dimana dia main". "Biarkan dia bebas", jawabku. Lalu aku mengambil makanan dan menyalakan TV sementara kakakku masuk kamar berganti baju dan mulai mencari anaknya.
Dua orang itu datang, keponakanku begeleyotan dipinggang mamanya sambil bercerita menggebu-gebu tentang kegiatannya hari ini. Kakakku setengah mendengarkan setengah tidak sambil melihat-lihat bunga anggreknya. Keponakanku mulai marah, "kok mama nggak memperhatikan aku sih! yaudah kalo gitu aku nggak mau lagi sama mama". "Kamu cerita aja, bunda dengerin kok" jawab kakakku. "Mama tu mbok ya kalau diajak ngomong lihat aku gitu lho", keponakanku protes. "Iya sayang, ayo dilanjutkan ceritanya. Oiya, mau makan apa? Bunda lapar nih makan yuk" jawab kakakku. "Nggak mau!" keponakaku sambil melipat kedua tangannya. Akhirnya kakakku harus mengiming-imingi sesuatu pada anak kecil itu agar mau makan.
Keponakanku adalah anak yang "mama-sentris". Dia bisa dewasa, bisa juga manja, dengan taraf seperti anak kecil pada umumnya. Karena dia belum mempunyai adik juga sih..
Jam semakin menuju malam. Jam 7.30 malam saat kakakku menemani anaknya belajar, kakakku terlihat memegangi HP-nya. Keponakanku pun berkata "Kok mama diem, mama kenapa?", dia sensitif bila mamanya diam karena tidak mau melihat mamanya sedih. "Tidak apa-apa sayang, sudah belum belajarnya? kalau sudah ke kamar yuk tidur bareng bunda, ngantuk nih" kakakku menjawab. Bila aku mengamati, kakakku selalu pergi ke kamar lebih cepat bila tidak ada suaminya. Entah tidur cepat atau kenapa. Bila ada suaminya, mereka selalu lebih lama mengobrol dan bercanda di ruang tengah, terkadang bercanda bertiga di dalam kamar sambil tertawa-tawa bahagia. Setiap minggu mereka selalu pergi ke luar rumah mencari suasana baru, olahraga bersama, pergi ke desa-desa bersama, mudik ke kampung halaman sambil membawa banyak oleh-oleh, belanja bersama, masak makanan khas di rumah bersama, dll. Memang mereka keluarga yang harmonis dan menjadi panutanku. Beruntung aku pernah tinggal bersama mereka. Tentu saja itu pula yang membuat keponakanku tidak mau lepas dari mamanya, karena bersamanya itu sudah cukup, bahagia.
Kakakku orang yang "suami-sentris", akan sangat sedih bila tidak ada suaminya di rumah. Bila suaminya di rumah, itu adalah hal yang paling membuatnya bahagia, meskipun ada anaknya atau aku atau ibu dan bapakku, tetapi tanpa suami, kakakku seperti kehilangan setengah jiwanya. Hari-hari dilewatinya dengan banyak diam dan murung. Meski pun ketika bertemu banyak orang dia cerewet, tetapi aku tahu, dalam lubuk hatinya paling dalam, kakakku merasa kesepian tanpa suaminya. Aku pikir perempuan yang seperti kakakku tidak salah, karena menurutku, ketika perempuan memutuskan menikah, dia sekaligus memutuskan untuk menyerahkan jiwa raganya untuk suaminya. Setidaknya perempuan Jawa kebanyakan seperti itu. Seperti ibuku, budheku, sepupu-sepupuku, dan kakak-kakakku yang lain. Ketika suaminya tidak ada, wajar bila hidupnya tidak lengkap.
Adakah kalian perempuan sedemikian? Mungkin memang perempuan memiliki dunia yang tidak mudah dipahami, mereka memiliki rahasia yang tak terungkapkan. Mereka ingin mengungkapkannya, tetapi dunia ini tidak cocok untuk mendengarkan ungkapannya yang dalam itu. Oleh karenanya mereka banyak diam, menunggu, dan pasif. Sulit memang. Aku pun tidak bisa menembus diamnya kakakku, sedihnya dia, atau tangisnya dia dikala ada perasaan yang tak tersampaikan. Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Jadi, aku yang bersimpati ketika dia kesepian juga hanya bisa diam, melakukan apa yang bisa aku perbuat untuknya.
Setelah pulang dari kampus, rumah kakakku sepi. Keponakanku sedang bermain di luar bersama teman sekolahnya. Aku menuju meja makan, melihat hidangan makan malam sudah rapi tertata di meja. Mbak Umilah yang memasaknya. Keponakanku pun pulang, berteriak-teriak dengan suara khasnya mencari mamanya, mengira mamanya sudah pulang."Lek Niha, mama mana?" tanyanya. "Belum pulang sayang", jawabku. Dia balik badan dan kembali bermain di luar, di rumah tetangga. Anak itu tidak bisa dipisahkan dari ibunya. Ia selalu menghargai kakakku sebagai sebenar-benar ibunya. Hal yang paling membuatnya sedih adalah bila kakakku sedih, marah, atau merasa ibunya sedang tidak serius kepadanya. Itu membuatku sangat haru, betapa manisnya dia.
Kakakku pun datang, pulang dari kerja dan mencari anaknya. Suaminya waktu itu sedang ke luar negeri entah kemana aku tidak ingat saking seringnya dinas. Aku bilang kalau anaknya sedang bermain entah dimana. Kakakku bilang "kamu ini gimana kok nggak tahu dimana dia main". "Biarkan dia bebas", jawabku. Lalu aku mengambil makanan dan menyalakan TV sementara kakakku masuk kamar berganti baju dan mulai mencari anaknya.
Dua orang itu datang, keponakanku begeleyotan dipinggang mamanya sambil bercerita menggebu-gebu tentang kegiatannya hari ini. Kakakku setengah mendengarkan setengah tidak sambil melihat-lihat bunga anggreknya. Keponakanku mulai marah, "kok mama nggak memperhatikan aku sih! yaudah kalo gitu aku nggak mau lagi sama mama". "Kamu cerita aja, bunda dengerin kok" jawab kakakku. "Mama tu mbok ya kalau diajak ngomong lihat aku gitu lho", keponakanku protes. "Iya sayang, ayo dilanjutkan ceritanya. Oiya, mau makan apa? Bunda lapar nih makan yuk" jawab kakakku. "Nggak mau!" keponakaku sambil melipat kedua tangannya. Akhirnya kakakku harus mengiming-imingi sesuatu pada anak kecil itu agar mau makan.
Keponakanku adalah anak yang "mama-sentris". Dia bisa dewasa, bisa juga manja, dengan taraf seperti anak kecil pada umumnya. Karena dia belum mempunyai adik juga sih..
Jam semakin menuju malam. Jam 7.30 malam saat kakakku menemani anaknya belajar, kakakku terlihat memegangi HP-nya. Keponakanku pun berkata "Kok mama diem, mama kenapa?", dia sensitif bila mamanya diam karena tidak mau melihat mamanya sedih. "Tidak apa-apa sayang, sudah belum belajarnya? kalau sudah ke kamar yuk tidur bareng bunda, ngantuk nih" kakakku menjawab. Bila aku mengamati, kakakku selalu pergi ke kamar lebih cepat bila tidak ada suaminya. Entah tidur cepat atau kenapa. Bila ada suaminya, mereka selalu lebih lama mengobrol dan bercanda di ruang tengah, terkadang bercanda bertiga di dalam kamar sambil tertawa-tawa bahagia. Setiap minggu mereka selalu pergi ke luar rumah mencari suasana baru, olahraga bersama, pergi ke desa-desa bersama, mudik ke kampung halaman sambil membawa banyak oleh-oleh, belanja bersama, masak makanan khas di rumah bersama, dll. Memang mereka keluarga yang harmonis dan menjadi panutanku. Beruntung aku pernah tinggal bersama mereka. Tentu saja itu pula yang membuat keponakanku tidak mau lepas dari mamanya, karena bersamanya itu sudah cukup, bahagia.
Kakakku orang yang "suami-sentris", akan sangat sedih bila tidak ada suaminya di rumah. Bila suaminya di rumah, itu adalah hal yang paling membuatnya bahagia, meskipun ada anaknya atau aku atau ibu dan bapakku, tetapi tanpa suami, kakakku seperti kehilangan setengah jiwanya. Hari-hari dilewatinya dengan banyak diam dan murung. Meski pun ketika bertemu banyak orang dia cerewet, tetapi aku tahu, dalam lubuk hatinya paling dalam, kakakku merasa kesepian tanpa suaminya. Aku pikir perempuan yang seperti kakakku tidak salah, karena menurutku, ketika perempuan memutuskan menikah, dia sekaligus memutuskan untuk menyerahkan jiwa raganya untuk suaminya. Setidaknya perempuan Jawa kebanyakan seperti itu. Seperti ibuku, budheku, sepupu-sepupuku, dan kakak-kakakku yang lain. Ketika suaminya tidak ada, wajar bila hidupnya tidak lengkap.
Adakah kalian perempuan sedemikian? Mungkin memang perempuan memiliki dunia yang tidak mudah dipahami, mereka memiliki rahasia yang tak terungkapkan. Mereka ingin mengungkapkannya, tetapi dunia ini tidak cocok untuk mendengarkan ungkapannya yang dalam itu. Oleh karenanya mereka banyak diam, menunggu, dan pasif. Sulit memang. Aku pun tidak bisa menembus diamnya kakakku, sedihnya dia, atau tangisnya dia dikala ada perasaan yang tak tersampaikan. Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Jadi, aku yang bersimpati ketika dia kesepian juga hanya bisa diam, melakukan apa yang bisa aku perbuat untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar