Percakapan Antareja dan Resi Antanaga di Kerajaan Saptapratala wilayah Jangkarbumi.
“Paman Antanaga, menurut paman apa yang terjadi sesudah kita mati? Saya tidak tahu paman, apakah kesaktian tanpa tanding yang saya miliki ini sebuah anugerah ataukah sebuah kutukan. Sebagian yang saya bunuh mungkin juga para ksatria yang hanya menjalankan tugas memenuhi perintah rajanya, atau tugas membela negaranya. Tujuh warsa saya kembali ke Jalatunda ini, seakan aura Hyang Antaboga yang ada pada setiap jengkal dinding goa ini memberikan pelajaran kepada saya. Bahwa walaupun membunuh orang yang bersalah sekalipun bukanlah suatu tindakan yang dapat dibenarkan. Ketika semua orang suatu saat nanti pasti mati demi sebuah kebanggaan membela rajanya. Mati menjadi kusuma negaranya… mati di tengah kebanggaan dan kekaguman orang-orang di sekitarnya. Kebanggaan apa kiranya yang ada pada saya saat mati nanti. Ketika tidak ada orang yang mampu mengalahkan saya…”
(Suatu ketika) Antareja kepada Prasojo, sang pengasah pedang perang para prajurit kubu Pandawa.
“Tugas yang kamu emban saat ini adalah tugas mulia, Prasojo. Tak dapat dibayangkan bila seorang prajurit mendapati dirinya ternyata bertempur dengan membawa sebilah pedang yang tumpul. Semua prajurit akan sangat bergantung padamu, Prasojo. Sama sepertimu, saya hanyalah menjalankan tugas hidup di dunia ini atas apa yang saya yakini benar. Apa yang menjadi tugas saya tidaklah lebih mulia dari tugas yang kamu sekarang kerjakan. Kebetulan saya memiliki kekuatan seperti apa yang kamu katakan, tapi itu bukanlah lebih hebat dari kemampuan akan ketrampilan kamu mengasah pedang dengan baik..” Prasojo masih tidak mengerti. “Sesakti-saktinya saya, sebagai bangsa manusia, cepat atau lambat pastilah akan menemui ajal, mungkin besok, mungkin lusa, satu warsa lagi… Seperti juga kamu, dengan kemampuanmu seperti sekarang, tidak berarti kamu akan lebih mudah mati dibanding para ksatria di saat bertarung di medan Baratayudha nanti. Saya pikir tidak ada gunanya kamu berguru kepada saya, justru saya yang berjalan membaur di antara para prajurit di lorong-lorong tenda ini, saya ingin sekali untuk berguru kepada para prajurit sepertimu, Prasojo…”
Prasojo berkata bahwa dia tidak mengerti.
“begitu banyak hal di dunia ini yang mungkin tidak akan pernah kita mengerti…”
(Terakhir antara Sri Kresna dan Antareja) Sri Kresna yang hendak mengajak Antareja ke Jonggring Saloka untuk menghadap Sang Hyang Guru menanyakan mengapa semua ini terjadi, tiba-tiba ragu. Antareja berkata :
“Bersyukurlah mereka yang dihinggapi rasa ragu, uwa Prabu… keraguan adalah pertanda bahwa hati dan pikiran kita masih berpihak kepada kita. Dan bagi orang-orang yang kuat imannya, keraguan adalah sebuah titik awal dari tumbuhnya sebuah keyakinan.”
Kata-kata Antareja mengingatkan Sri Kresna pada pandangan hidup yang ditempuh Antasena.
“Hamba juga bisa merasakan apa yang uwa Prabu rasakan saat ini. Sebuah perasaan yang saya sebut sebagai titik terendah. Sesuatu dikatakan naik, hanya bila sesuatu tadi berada di bawah. Dan titik terendah diperlukan bagi setiap orang agar dia mampu melihat dirinya sendiri dan memaksanya untuk naik menjadikan sesuatu yang lebih tinggi. Pasang surut seseorang, naik turun kehidupannya terkadang bisa melenakan. Membuatnya untuk berhenti mencari sesuatu yang lebih baik. Di sanalah titik terendah diperlukan, sebuah titik kehidupan yang akan memaksa seseorang untuk memperbaiki dirinya, dan tidak akan pernah berhenti untuk memperbaikinya…”
“Tekad saya sudah bulat, uwa Prabu… biarlah saya yang menjadi titik terendah itu. Biarlah jiwa dan raga saya tertumpah di sini di Kurusetra ini, saat ini, jauh sebelum darah tertumpah di Kurusetra oleh perang. Biarlah jiwa dan pikiran saya larut ke dalam bumi Kurusetra menjadi penyemangat setiap langkah kaki para prajurit Pandawa untuk melawan setiap bentuk keangkaramurkaan. Dan biarlah badan saya hancur menyebar menjadi udara ke seluruh wilayah padang ini, agar setiap hirupan nafas mereka selalu berkobar api kehendak untuk selalu melawan kebathilan”
Kemudian Antareja mencium telapak kakinya sendiri, membuat tubuhnya kemudian hancur dan menyatu dengan tanah. Sementara butiran-butiran debu dari tubuhnya terbang memenuhi udara Kurusetra. Demikianlah jalan takdir yang ditempuhnya.
diadaptasi dari Antareja - Antasena, Jalan Kematian Para Ksatria karya Pitoyo Amrih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar