Rabu, 04 April 2012

UGM, A Fighting Chance


Dear readers, especially you who want to be part of Gadjah Mada University Academia but having many problems  about fearness that you can’t go through your undergraduate degree because of financial problem. Here I want to tell you one thing that is really important for you to know, that is about scholarships for undergraduate degree in Gadjah Mada University.

Saya tulis dalam bahasa Indonesia saja ya biar lebih mengena.

Wahai calon mahasiswa baru, kalian jangan pernah takut untuk bisa kuliah di UGM sampai selesai hanya karena masalah bahwa kuliah di UGM itu mahal. Saya beri tahu, biaya untuk membayar SPP+BOP+asuransi kesehatan di GMC kalau ditotal pun tidak sampai semahal biaya membayar keseluruhan SPP (plus biaya gedung) di SMA-SMA tenar di kota-kota kalian untuk satu semester. Kalau pun lebih mahal mungkin hanya selisih sedikit, tidak sampai jutaan.

Saya sendiri, dari fakultas eksakta (yang mana biaya satu sks-nya lebih mahal Rp 15.000,- dari fakultas non-eksakta), satu semester paling pol hanya mengeluarkan Rp 2.190.000,- (untuk 22 sks, terbanyak yang saya ambil, yaitu di semester 2) untuk biaya kuliah keseluruhan plus asuransi kesehatan dari GMC.

Lalu rumor tentang mahalnya kuliah di UGM selama ini bagaimana?

Memang, awal masuk UGM sebagian besar membayarkan biaya SPMA setelah mereka dinyatakan diterima di UGM sesuai perjanjian sewaktu mendaftar UGM sebelumnya. Dan sekarang minimal SPMA sepertinya sekitar 10 juta rupiah. Tentu itu suatu hal yang memberatkan bagi mereka yang tidak mampu. Namun bagi yang sewaktu di SMA berprestasi, mereka dapat masuk UGM melalui jalur khusus dimana mereka tidak diwajibkan membayarkan SPMA.

Lalu bagaimana bagi mereka yang tidak berprestasi? Tentu  UGM memikirkan hal itu. Dengan berlandaskan bahwa UGM masih berstatus sebagai kampus rakyat, mereka yang tidak mampu namun tidak mempunyai prestasi khusus sewaktu di SMA atau Aliyah, mereka dapat menjalani tes khusus, wawancara khusus, dan istimewanya, mereka pun diistimewakan bahwa banyak dari mereka yang tidak mampu, diharapkan nantinya dapat berprestasi selama perjalanan akademisnya di UGM. Malahan, mereka dapat secara langsung mendapatkan beasiswa yang dapat meng-cover seluruh biaya selama proses perkuliahan sampai selesai. Begitulah UGM yang saya tahu selama ini. Karena banyak bukti, beberapa dari teman saya yang tidak mampu mengalami hal itu.

Selanjutnya mengenai beasiswa…

Sebelum kalian semua benar-benar resmi menjadi mahasiswa UGM, pastikan bahwa niat kalian untuk kuliah di kampus ini adalah sebagai berikut :
  1. Niat untuk selalu menjaga “attitude”, yaitu selalu akan berbuat baik demi kebaikan pribadi dan bersama untuk kemajuan kampus, bangsa, dan negara yang lebih baik.. 
  2. Niat selalu menjaga “hati”, yaitu untuk selalu jujur mulai dari diri sendiri sampai akhir menjadi alumni.
  3. Niat untuk berani untuk terus maju, mengembangkan diri, dan percaya diri dalam mengahadapi segala tantangan. Karena apa, kalian akan menjadi mahasiswa di kampus yang memiliki iklim kompetitif yang kuat. Kalau tidak dapat “survive” maka kalian bukanlah mahasiswa yang sebenarnya.
  4. Terakhir, niatkan dalam menuntut ilmu, bahwa kalian tidak meminta ilmu yang banyak kepada Tuhan, melainkan niat untuk memperoleh ilmu yang berkah, yaitu yang bermanfaat untuk orang lain dan selalu dapat mendekatkan kepada Yang Maha Memiliki Ilmu.

Setelah kalian resmi menjadi mahasiswa dan telah meluruskan niat (seperti di atas tadi), saya jamin, kalian tidak akan memiliki kesulitan yang berarti untuk menggapai tujuan kalian melewati kiprah pembelajaran selama di kampus. Terutama bagi kalian yang kurang mampu. Dengan sendirinya kalian akan menjadi orang yang diharapkan oleh kampus, masyarakat, bangsa, dan negara. Uang untuk membayar kuliah pun akan mengalir dengan sendirinya, tidak perlu kalian cari dengan susah-susah. Karena UGM selalu menyediakan  beasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa yang terkualifikasi, semuanya, tanpa terkecuali dari bermacam-macam kualifikasi.

Sekelumit cerita dari saya :
Saya bukanlah tergolong mahasiswa yang memiliki orang tua kaya raya namun bukan tergolong mahasiswa yang memiliki orang tua miskin. Dan satu hal, saya adalah orang yang pemalu untuk meminta uang banyak kepada orang tua untuk keperluan sekolah. Sehingga saya selalu diam sebelum akhirnya orang tua saya yang menawari uang untuk keperluan saya. Tentu saja, dengan begitu, keuangan saya selama kuliah tersendat-sendat.

Akhirnya saya memutuskan untuk mencari uang dengan keringat sendiri, namun terkadang karena kesibukan kampus, saya pun tak mampu melewatinya sepenuhnya sampai akhir. Setelah saya putus asa, saya pun pernah melamar beasiswa Grafika Publishing dengan bermodalkan prestasi selama SMA. Saya juga pernah melamar beasiswa dari DIKTI berupa beasiswa PPA, dan keterima. Selama tahun 2009, keuangan saya banyak di-support oleh beasiswa PPA dari DIKTI. Prinsip saya, daripada uang-uang itu dikorupsi oleh pejabat, mendingan saya ambil saja untuk mengalirkan pahala bagi mereka yang membayar pajak. Hwahaha… (aneh kan? Begitulah kenyataan niat saya, saya jujur lho!)

Kemudian karena keterbatasan IP, saya pun gagal memperoleh beasiswa PPA untuk periode berikutnya, kalah saing dengan mahasiswa lain yang jauh lebih pintar dalam bidang akademis dibanding saya. Maklum, saya mendedikasikan diri saya tidak hanya untuk keperluan akademis, namun juga peningkatan spiritual, peningkatan kemampuan bahasa asing, dan dunia lainnya yang dimata saya sangat membantu menemukan jati diri saya. Sehingga waktu saya untuk belajar tentang materi kuliah tidak berhasil saya manfaatkan secara maksimal. Namun demikian, saya mempunyai semangat untuk terus maju, dapat membanggakan orang tua melalui transkrip nilai saya, lulus dengan predikat cumlaude. Dengan semangat tinggi tersebut, mulai semester 6, IPK saya naik dan tidak lagi stagnan seperti sepanjang semester 1-5. Saya pun mencoba melamar beasiswa Tanoto Foundation, berharap mendapat kesempatan menyerap ilmu Leadership versi Tanoto. Namun, apalah dikata saya lagi-lagi gagal di tahap wawancara. Memang bukan rejeki saya. Saya pun kembali melamar beasiswa PPA, dari sana entah kenapa pihak Direktorat Kemahasiswaan UGM yang mengurusi masalah beasiswa malah memberi tahu saya via sms bahwa saya disuruh tanda tangan untuk penerimaan beasiswa CSR selama setahun. Saya pun kaget. Bahkan beasiswa CSR secara nominal jauh lebih besar daripada beasiswa PPA DIKTI. Prosesnya pun lebih mudah. Karena DitMaWa UGM memberitahukan langsung segala perkembangan beasiswa tersebut via sms, bukan via website. Memang inilah rezeki saya dari Tuhan yang patut saya syukuri dan saya pergunakan semaksmal mungkin.

Tidak hanya berhenti di situ, semester 7 IP saya naik menjadi yang paling tinggi selama 7 semester terakhir. Sehingga niat untuk lulus dengan predikat cumlaude pun bukan hal yang mustahil bagi saya. Inilah buah perjuangan selama ini. Bahkan, siang tadi, pihak fakultas pun menawari beasiswa lain via sms yang isinya begini : “Diharap agar Saudara untuk mengambil formulir mahasiswa berprestasi tahun 2012 di sekretariat Dekan (Bp. Sutopo). –WD III, Prof. X, M.Si., Apt.-“ … nah lhoh! Saya pun terbengong-bengong. Ternyata UGM kampus yang begitu peduli dengan mahasiswa-mahasiswanya. Dan saya pun sangat semangat menulis tulisan ini pada sore harinya. Hanya untuk memberitahukan kepada kalian wahai teman-teman, wahai adik-adik… bahwa beban finansial untuk kuliah di UGM jangan sampai memberatkan kalian, karena kalian adalah orang-orang yang memang terpilih! Fokus saja untuk terus berprestasi dan melakukan hal sesuai prinsip dan tujuan mulia kalian untuk benar-benar membawa kejayaan pada kampus, masyarakat, bangsa, dan negara… niscaya semuanya akan berjalan baik-baik saja sampai akhir tugas kalian nanti.

Satu hal yang harus diingat, bahwa (hanya) dengan modal pas-pasan dibumbui dengan niat dan keyakinan yang kuat hampir tidak ada cerita gagal dalam hidup ini.

If you believe in yourself, if you stick to things, and if you always pray, there is very little that is really impossible. (Prof. Dr. Sudjadi, Pharmaceutical Analyst and Biochemist in Pharmacy UGM)

Jumat, 23 Maret 2012

Para Guruku


Setiap saya belajar lewat membaca artikel-artikel di media internet, koran, buku, majalah, dan sejenisnya, otak (dan mungkin hati) saya mengelompokkan bacaan saya itu berdasarkan kelas-kelasnya. Saya akui, saya mengagumi  beberapa tokoh yang sangat berperan dalam peningkatan spiritualitas saya. Terlepas dari entah apakah spiritualitas saya sudah meningkat atau belum. Beberapa dari mereka seperti Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, Goenawan Moehamad, dan Gusdur. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi hanya mereka yang mendominasi kepala saya ketika saya menulis ini. Maklum, kemampuan mengingat saya sangat terbatas. Meski begitu, apa yang lebih berharga dari seorang tokoh selain karya-karyanya yang mengisi relung-relung jiwa manusia lain yang membutuhkannya? Tokoh-tokoh itu seperti kereta yang menghantarkan perjalanan seseorang menuju sebuah terminal keabadian.

Ya, mereka yang saya sebut di atas dan yang lainnya telah dan dan sedang menjadi kereta saya. Oleh sebab itu saya sangat mencintai mereka, karena mereka telah begitu ikhlas mengorbankan diri mereka untuk saya dan tentunya untuk orang lain juga selain saya. Sampai mereka dihujat orang-orang yang pendek akalnya, saya tentu sangat sedih. Tidak habis pikir kepada orang-orang yang menghujat tokoh-tokoh yang sangat saya junjung tinggi itu, orang-orang itu tidak berpikir bahwa mereka telah mengorbankan diri mereka demi keluasan sudut pandang cara berpikir manusia, demi kita yang hendak pergi menuju satu tujuan, Tuhan.

Begitu pula dengan mereka yang berjiwa radikal dan keras, saya juga menghargainya. Misalnya saja tokoh NII, saya memahami mengapa mereka ingin mendirikan NII. Meskipun sampai saat ini tidak berhasil. Atau HTI, atau Ikhwanul Muslimin, atau apapun yang lainnya itu.

Semua dari mereka membuat saya belajar untuk selalu memperluas cakrawala saya. Prinsip saya adalah alam saya tidak sesempit visi-visi dan misi-misi organisasi-organisasi itu.

Bukankah hidup memang harus seimbang?

Menghujat tokoh dan menghujat perbedaan adalah upaya merusak keseimbangan. Saya menghargai kritik, namun kritik yang membangun. Saya tidak menyukai perdebatan. Saya menyukai mereka berdiri sendiri-sendiri saling membangunkan, berdiri sendiri sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Tentu saja Gus Dur berbeda dengan Nurcholish Madjid (dengan JIL-nya). Tentu saja Emha Ainun Nadjib (dengan Jamaah Maiyahnya) berbeda dengan Gus Dur  (dengan NU-nya) maupun Kyai-Kyai salafi NU lain. Mereka semua juga berbeda dengan W. S. Rendra yang meluaskan cakrawala jiwa manusia lain lewat syair-syairnya.

Bukankah dunia ini diperjalankan olehNya? Semua dari yang kita lihat di dunia ini akan pula kembali kepada Yang Satu, Sang Empunya keabadian.

Saya sangat berterimakasih kepada Jamaah Maiyah, kepada NU, kepada JIL, kepada kelompok-kelompok radikalis agama dan kepada Scientists. Mereka, tentu saja, telah membangunkan saya, membuat saya berdiri, dan berjalan ke suatu tujuan sesuai nurani saya. Mereka semua adalah kekuatan eksternal saya, selanjutnya, nurani sayalah yang lebih saya ikuti sebagai kekuatan internal jiwa saya. Oleh karenanya, saya lebih banyak diam, karena tidak mampu berbicara panjang lebar yang tidak praktis. Saya tidak bisa mengikuti salah satu dari mereka secara 100%. Itulah kelemahan saya. Saya tidak mampu berbuat banyak dalam membalas kebaikan mereka yang telah secara ikhlas menjadikan dirinya sebagai kereta. Tapi saya sungguh berusaha untuk dapat memberikan apa yang saya punyai saat mereka semua membutuhkan diri saya.

Saya hanya berharap dapat mengamalkan apa yang telah dan sedang mereka ajarkan, lalu membagikannya kepada yang membutuhkan dan mau menerimanya.

Begitulah hidup saya selama ini…

Jenis Sajak Jiwaku


Saya menyukai sajak, sajak yang membuat saya berpikir bebas dan luas tentang maknanya. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu membawa jiwaku menembus ruang dan waktu, meninggalkan dunia fana, mengangkatku ke alam spiritual yang lebih tinggi. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu menembus hatiku tanpa perlu melewati otakku yang tak mampu mencernanya. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu menuntunku menemukan jati diriku. Saya menyukai sajak, sajak yang mampu membawaku kembali kepada Sang Empuku sesuci aku ketika dihidupkannya berulangkali.
Duhai penyair, Beri aku sajak-sajak itu.

Selasa, 13 Maret 2012

My Femininity


I don’t like to put lotions on my skin, it leaves sticky sensation.
I don’t like to make my face up redundantly, with little complex make up that makes me like wearing a mask.
I don’t like to use a pair of closed shoes, it can’t even let my cell breath.
I don’t like to wear fragile slippers and many kinds of fragile high heels, very inconvenient.
I don’t like to arrange veils complexly, with more than two hooks, like I dress up my dolls.

Now you can conclude one part of my femininity, what kind of woman I am as I appear. :)

Senin, 12 Maret 2012

Maha Guru Bagiku (Lewat NDRA)


Ketika banyak orang berbicara tentang apa yang telah maha guru suguhkan lewat apa yang disebut #NDRA di Twitter. Memuja dan memujinya… mereka begitu mudahnya berkata-kata,mereview, berkomentar ini dan itu, berpuisi, dan suguhan lain tentang apa yang baru saja mereka saksikan, #NDRA dari sang maha guru… dengan berbagai niatan tentunya, ada yang karena ingin memahamkan karena dialog yang tingkat langit itu, ada yang hanya ingin lainnya. Sementara aku… hanya bisa terdiam.

Memang, maha guru sedang menelanjangi dirinya. Tak hanya dirinya, bagiku maha guru sedang pula mengambil resiko untuk menelanjangi segala keadaan dan manusia penghuni bumi ini. Resiko itu, aku merasakannya sendiri… bahwa betapa terdiamnya aku, betapa bisunya aku, setelah kumenyaksikannya. Tanpa bisa berbuat apa-apa yang seharusnya kuperbuat setelah aku menyaksikan #NDRA itu di panggung teater. (Meskipun paling tidak aku masih bisa manulis ini…). Bahkan tidak hanya melalui satu single teater ini, akan tetapi setiap apa yang dipaparkan oleh maha guru di setiap waktu aku mendengarkannya, apa yang kurasa sesungguhnya ia sedang menelanjangi segala sesuatu.

Mungkin memang karena maqamku yang tidak setingkat dengan maqam sang pemilik karya, meski aku berusaha naik namun tetap aku merangkak, atau bahkan hanya jalan di tempat. Solusi yang ditawarkan berdasarkan pesan yang disampaikan, belum bisa kutangkap lewat bagian mana saja dari diriku. Dan masih saja, aku tetap berusaha.

Sesalah-salahnya, jangan-jangan aku menganggap sang pemilik karya bukanlah makhuk bumi, ia bukan makhluk biasa, dan karenanya –meskipun banyak orang yang mengaguminya, banyak orang yang berreseptor ‘kethul’ ketika sang maha guru bercuap-cuap. Ya, mereka beda frekuensi. Mungkin termasuk diriku, namun aku telah mewanti-wanti sesuatu dalam diriku untuk selalu menyegarkan apa yang baru saja diperbincangkan dan disajikan dengan sangat sempurna oleh maha guru. Dengan begitu –seperti apa yang selalu diucapkan oleh maha guru, reseptorku selalu terbuka menerima cahaya, dan menghentikan apa-apa yang membuat hatiku berkarat. Itu harapku.

Namun –seperti apa yang maha guru berulangkali sampaikan, bahwasannya semua ini tidak bisa dipecahkan oleh manusia itu sendiri, selalu ada campur tangan dari langit meski hanya beberapa persen atau banyak persen (tergantung tingkat kebutuhan kita karena Langit selalu akan membantu manusia yang tersesat ini). Begitu pula dengan resiko yang telah diambil oleh maha guru –menelanjangi dirinya, keadaan dan manusia lainnya, semua resiko itu mungkin akan terhapus karena bantuan Langit seiring berjalannya waktu. (Tapi sampai kapankah?) Manusia memang diharuskan sabar untuk sampai pada parameter-Nya.

Akhirnya mungkin suatu saat kita akan menemukan apa-apa yang selama ini kita harapkan, apa yang dipersampaikan dalam #NDRA itu. Dan akhirnya pula, aku akan paham… tidak lagi terdiam dan membisu seperti ini. Suatu saat mungkin aku akan banyak mengoceh lagi tentang hidup yang dianugerahkan oleh-Nya ini. Berkehidupan dengan kualitas yang terbaik yang mampu aku jalankan.

Aamiin..

Rumah Sleman, 120312 20:44.

Selasa, 06 Maret 2012

Inherent Individualism..

...allows you to be your complete self. You can yell amidst a flow of humans (a simpler experiment would be wearing an annoying, orange shirt) on the street and nobody would care enough to judge and talk about you in more than an hour. This behavior welcomes the wildest form of dream and with a little extra hard work, it might actually come true.

Medicament

"Aku berjalan memunggungi dunia Karena ia merebutku, dari diriku. Aku pergi menjauh dari kehidupan Karena ia memisahkanku, dari bayiku.

Sesungguhnya yang kujalani adalah kematian. Sebab dunia tak terjangkau oleh penglihatan. Sebab oleh akalku, kehidupan makin tak terumuskan. Serta di dalam jiwaku, cinta hanya bermakna kehilangan"

dalam Script "Nabi Darurat Rasul Ad Hoc" oleh Emha Ainun Nadjib. 

terlepas dari bagaimana kita sedang menjalani kehidupan ini dengan Apa Adanya, sembari juga kita dapat berpikir dunia ini diciptakan untuk apa? setelah sekian lama kita hidup, kita seharusnyalah tersadar akan peran dunia sebagai ciptaanNya (selain kita, manusia). 
Highlights : -ku dalam merebutku ini siapa atau apa?, serta bayiku itu apa?.
(sama -sama setiap hari kita diharuskan mikir yang berat, mengapa malas untuk memahami dan menemukan jawabannya? ayo temukan!)
clue untuk paragraf kedua : jalan kehidupan sebagai kematian, kematian tentu lebih suci daripada sekedar kehidupan dunia yang ruwet bagi manusia ini, dan cinta ~ikhlas dalam kehilangan.