Kamis, 04 Juni 2015

Diversity

#
Boleh kita tidak setuju dan tidak suka dengan selera atau cara atau pendapat orang lain (eh, boleh kan ya tidak suka?). Namun tak perlulah mencemoohnya. Boleh jadi karena mereka belum tahu standar kebenaran menurut diri kita sehingga mereka tak peka. Karena meskipun engkau mengatakan standar kebenaranmu padanya, dia bisa saja tidak terima pula, seperti engkau tidak terima akan seleranya. Jadi cukuplah berkomentar, “Ya, terserah saja mau gimana. Tapi ya enggak gitu amat kali dek/mas/mbak."

#

Selama ini orang selalu menggaungkan semangat anti-diskriminasi. Dulu, sewaktu masih di Indonesia, aku tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Meskipun masih sering baca tentang wacana berkonsep pluralisme di Indonesia (eh, nyangkut sama tema anti-diskrimasi kan ya?). Aku tidak terlalu peduli karena "Toh sudah ada aktivis-aktivis yang getol menyuarakannya, mending aku ngurusin apa yang buatku menarik saja, seperti masalah teologi kek, yang melangit". Selain itu juga karena aku nggak menjumpai masalah diskriminasi di sekitarku, jadinya pasif deh. Namun setelah aku di Eropa dan bergaul dengan masyarakat sini, mataku jadi kebuka lebar. Jaman sekarang, ternyata masih ada ya diskriminasi, nyata dan aku mengalami sendiri. Meskipun tidak secara langsung mereka bilang "Aku nggak mau ah foto bareng kamu berdua doank, kamu kan orang Asia, nggak terlalu Internasional. Maunya sama orang berkulit putih, berambut kecoklatan, atau blonde, yang badannya tinggi menjulang, yang sangat Internasional". Bahkan hal tersebut dilakukan oleh orang non-Eropa loh, percaya nggak? Dalam hati "ora patheken juga sih ra foto bareng sampeyan, mesakke banget toh guys uripmu". Eh iya, kalau orang non-Eropa kan emang cenderung look up ke Eropa, karena peradaban barat masih menguasai ranah Asia-Afrika. Penyakit-penyakit warisan jaman kolonial masih sulit diobati. Diskriminasi secara tak langsung lainnya yang masih nyata adalah adanya kenyataan tentang perbedaan definisi antara imigran dan expat seperti yang dilaporkan The Guardian di sini dan di sini. They can deny that, but the fact tells you different story from what they have claimed. Yaa memang tidak semuanya sih mereka seperti itu, tapi ketika hidup di sini atmosfernya kurang lebih memang demikian, masih terjadi diskriminasi. Sehingga ini menjadi pelajaran juga buatku, kalau nanti di Indonesia (dan di sini juga) tidak boleh ada secuil pun perasaan membedakan hak antar sesama. InsyaAllah sih sudah khatam, karena sejak dulu aku mematok standar tinggi untuk toleransi antar sesama. Mau hidungmu pesek atau mancung, kulitmu item atau putih, rambutmu kribo atau lurus, otakmu tumpul atau tajam, agamamu Islam atau Katholik, mau miskin atau kaya, mau hidup di desa atau di kota, mau Jawa atau Indonesia atau Cina, mau pendek atau tinggi, aku tidak pernah mempermasalahkannya atau memperhatikan perbedaannya. Menjadi pelajaran juga ya buat kita, ingat, kalau nanti peradaban Indonesia sampai mempengaruhi dan menguasai dunia, sampai seluruh penduduk bumi look up ke kita, kita tidak boleh berlaku diskriminasi kepada mereka, tidak boleh sombong, harus mau merangkul semuanya.. haha. Kita juga tak seharusnya terlalu look up ke peradaban barat. Mana identitas kita? Tidak ingat toh dulu nenek moyang kita, sebelum orang-orang Barat ke sini, memiliki segalanya dan mereka membangun surga di tanah air kita. Kenapa tidak kita gali lagi tanah kaya warisan peradaban luhur yang tertutup pasir tebal itu? Kita harus bisa menjadi manusia yang benar-benar beradab, tidak mengulang kesalahan orang lain dalam sejarah. Kan, sudah belajar, sudah membaca, harus cerdas donk.