Minggu, 30 November 2014

3º C

Apakabar?

Bulan November ini saya menghabiskan hari Sabtu untuk pergi ke luar kota. Sebenarnya saya ingin lebih mengeksplorasi Nijmegen yang cantik, mungil, romantis, dan tua ini. Namun karena kesempatan memiliki partner plesir lebih jarang, maka sekali ada partner berplesir maka saya akan ikut kemana mereka pergi. Memiliki partner bepergian sangat penting bagi saya, karena bila saya pergi sendirian, I have nothing to do although it is in a well-known place that you know every path of that town as if you know the path of your hand. Mengapa harus bepergian? Jawaban saya adalah sebuah pertanyaan, “Buat apa saya jauh-jauh naik pesawat dan belajar di Belanda kalau saya hanya stuck di satu tempat? The world is too beautiful to be left-unexplored! It can drain your balance though, but it is worth to find something new that can pop up from our mind after seeing the world outside. A partner is important to help us gain the idea by two-way interactive communication.” Jadi partner plesir membuat kita tidak merasa “allienated” di tempat asing. Saya memiliki beberapa partner bepergian di sini. Rizka dan Falma adalah dua orang yang sering menjadi teman saya bepergian karena memang tiap minggu mereka tidak pernah tidak ke luar kota. Sehingga ketika saya memiliki waktu, maka saya akan ikut kemana mereka pergi. Mereka berdua memiliki tipe selera yang sama, termasuk Jehan. Mereka bertiga dari Jakarta, dan seperti anak Jakarta pada umumnya, easy going dan gaul. Kemudian ada mas Ferry, orang yang Sunda-nya kelihatan banget. Dia perfeksionis, memiliki banyak barang ber-merk terkenal. Kalau pergi harus well-planned dan sangat menikmati setiap langkah kakinya jalan-jalan di kota-kota di Eropa sambil memotret sana sini. Berbeda dengan Rizka, Falma, Jehan yang kalau jalan sangat cepat dengan prinsip asalkan sudah mengambil gambar diri mereka (dan gambar-gambar bangunan) di tempat “iconic”, maka sudah afdhol. Saya banyak menumpang gambar diri saya di kamera mereka, hehe. Rizka, Falma, Mas Ferry masing-masing memiliki kamera dengan lensa yang bagus, seperti kamera-kamera a la fotografer. Saya hanya memiliki kamera pocket saja karena memang saya terlalu malas bawa barang berat kemana-mana.

Yang paling saya nantikan ketika jalan-jalan adalah bila teman plesir yang bernama Fuji ikut. Dia berasal dari Kotagede Yogyakarta yang kalau bercerita bahasanya aneh karena sudah lupa bagaimana meenggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan baik dan benar semenjak dia banyak berinteraksi dengan banyak imigran dan orang Eropa di sini sehingga bahasanya campur-campur dengan pilihan kata nggak karuan. Dia lulusan Antropologi FISIPOL UGM dan menjadi lulusan terbaik jurusannya di periode wisuda pada November 2012. Entah mengapa dia selalu bercerita hal-hal yang membuat saya antusias. Segala ceritanya menyimbolkan bahwa betapa Antropolog itu sangat berperan penting bagi peradaban umat manusia. Bagi saya yang seumur hidup mempelajari ilmu-ilmu hayati, hal tentang sosial humaniora menjadi sangat menarik bagiku bila diceritakan oleh Fuji. Saya tidak suka cara guru sosial humaniora mengajar di kelas yang menurut saya membosankan dan tidak menarik minat saya untuk mempelajarinya. Lewat Fuji, saya mau mendengarkan setiap kata demi kata dengan ekspresinya yang khas mulai dari kehidupan manusia di Jogja, di Jakarta, di Sumatra (Batak, Padang, Aceh, dll), Suku Dayak, Orang Madura, kehidupan orang Suriname, Belanda modern, Belanda kuno, Jawa dari Majapahit sampai Mataram, perbedaan Polinesia sampai Melanesia, asal muasal ide cerita Sponges Bob, Sri Lanka, Kubilai khan, dan masih buanyak lagi. Sampai-sampai saya ingin merekam omongannya namun kok rasanya aneh.. Haha. Baiklah, saya menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial humaniora tidak menarik bila disajikan secara formal di kelas dengan harus mengikuti ujian untuk lulus bila mau mempelajarinya. Ilmu yang penuh perspektif karena mempelajari perilaku manusia dengan isi otaknya yang berbeda satu sama lain. Masak iya, harus lulus dalam mata kuliah tertentu ketika kita menggunakan perspektif dalam menjawab permasalahan. It doesn’t make any sense. Saya lebih suka mempelajari ilmu sosial lewat cara-cara informal seperti mengobrol secara interaktif dimana saya akan selalu bisa bertanya secara langsung dan menginterupsi cerita di tengah bila saya mulai tidak paham dan tidak merasa logis. Saya akan mendebat bila saya mulai paham dengan ide baru, langsung ke orang yang menyajikan ilmunya ke saya. Berbeda dengan ilmu hayati yang saya pelajari, saya pikir ilmu tersebut harus dipelajari secara formal di kelas dengan detail yang sedemikian rupa. Teori di ilmu hayati tidak melulu didasarkan pada perspektif melainkan bukti nyata yang harus bisa dikembangkan di labortorium. Tidak fleksibel memang, namun saya menyukai untuk mempelajarinya, di kelas.

Hari ini saya menerima ajakan Fuji berkereta ke Leiden, bertolak dari Nijmegen, kami transit di Utrecht dan harus berlarian mengejar kereta di platform lain dengan harus naik eskalator dan turun eskalator dengan jarak yang jauh yang mana kereta hanya transit selama 4 menit, saya pikir 4 menit tidak cukup bagi kami mengejarnya bahkan dengan berlari. Apalagi kereta di sini sangat tepat waktu. Dari Utrecht, kami menuju Amsterdam untuk transit lagi dan akhirnya 30 menit ke Leiden dari Amsterdam. Sebelum berkereta, saya mempunyai kebiasaan membeli satu gelas besar Latte Machiatto panas di Albert Heijn di dalam stasiun untuk diseruput pelan-pelan sampai habis di dalam kereta. Kalian tahu? Sangat nikmat, apalagi ini musim dingin. Kami memilih tempat duduk “non-silent corridor” karena saya ingin mendengarkan cerita Fuji di dalam kereta untuk mulai aktif mempelajari manusia.

Di dalam kereta kami melihat betapa tanah di Belanda ini masih kosong luas sekali, hijau dengan banyak kanal dari ukuran 2 meter sampai puluhan meter lebarnya. Seringkali terlihat sapi dan kuda makan rumput, seringkali terlihat banyaknya kincir angin, windmill, dll. Orang Jawa tidak tahan melihat tanah kosong, mereka akan berpikir bagaimana caranya membeli tanah tersebut dan dibangun rumah megah nan mewah bak istana raja atau sekedar diwariskan ke anak-cucu. Sampai heran, kok bisa orang Jawa seperti itu. Meskipun tidak bisa digeneralisir, namun begitulah menurut kami. Orang Jawa terkenal dengan keahliannya membuka lahan hutan untuk dijadikan pemukiman. Sedangkan orang luar Jawa termasuk Kalimantan atau Papua, mereka akan menjadikan hutan sebagai apotek hidup, menanamnya dan menjaganya tetap awet. Sampai-sampai Antropolog kolonial jaman Hindia Belanda kreatif untuk mengungsikan orang Jawa ke Suriname dan membiarkan orang Jawa berkreasi dengan keahliannya membabad hutan dan menjadikannya pemukiman. Kita bisa melihat di desa-desa di Jawa bagaimana satu kelurahan isinya satu saudara dekat semuanya. Betapa orang Jawa kental dengan kekeluargaannya. Jaman dahulu mereka tidak mau jauh dari keluarga, memilih untuk tinggal dekat dengan orang tua sampai tua dikubur di tanah kelahiran bersama saudara mereka yang lain yang sudah mendahului wafat. Saya termasuk orang yang merasa aneh jauh dari orang tua, ingin berada di dekat mereka sampai mereka tiada dan di kubur dekat dengan makam mereka suatu waktu nanti. Saya Jawa asli. Berbeda dengan orang di Eropa, mereka terbiasa hidup individualis sejak kecil dan hidup sendiri sejak 18 tahun. Memiliki tanah untuk rumah tidak terlalu besar, kalau mati akan menyumbangkan bagian tubuh mereka untuk keperluan penelitian dan tidak untuk dikubur. Saya jarang menjumpai ada kuburan di sini, ada namun tidak banyak. Saya ingat cerita bahwa ada banyak orang Jawa yang sudah memesan tanah petak kuburannya di desa tempat kelahirannya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka dan orang-orang melihat "rumah masa depan" alias kuburan mereka sendiri. Orang Jawa menyukai memiliki banyak anak dengan jarak usia yang dekat satu sama lain hingga pulau Jawa sangat padat. Orang Eropa memiliki anak ketika umurnya 30 ke atas dan hanya 1 atau 2 dengan jarak usia yang cukup jauh. Belanda sampai sekarang hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 16 ribu, dan itu pun termasuk imigran-imigran di dalamnya. Sehingga saya berpikir, program transmigrasi dan KB itu penting. Namun kembali lagi, bahwa mengatur manusia tidak semudah mengatur benda mati. Manusia adalah makhluk berbudaya dan kita tidak bisa hidup tanpa budaya termasuk saya. Akan sangat sulit bila tiba-tiba saya harus hidup di pulau Natuna, terasing dan tidak bisa mengunjungi ayah-ibu semau saya suka. Saya ingin memiliki 4 anak agar rumah saya ramai dan ketika saya tua saya tidak merasa seperti zombie kesepian di rumah tua sendirian seperti nenek kakek di sini. Kalau saya memiliki banyak anak, maka hidup saya lebih berwarna. Itu perspektif saya, sebagai orang Jawa. Tidak salah dan tidak boleh disalahkan. Betapa ilmu sosial itu penuh perspektif, tidak bisa dirumuskan dengan mutlak. Mempelajari ilmu sosial secara formal di kelas tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus membaca, melihat, merasakan apa pun di mana pun untuk menggali ide dan memecahkan masalah.

Banyak lagi cerita tentang manusia dan kemanusiaan yang kami bicarakan hari ini. Sampai museum kami pun sibuk mengobrol tentang setiap benda, gambar, video dan semua instalasi di dalamnya selama 3 jam dan tidak selesai. Kami harus keluar sebelum gelap untuk sekedar berfoto di kanal-kanal Leiden yang mungil dan cantik serta membeli makanan Turki yang murah untuk mengganjal perut yang kelaparan. Kami jalan-jalan hingga pukul 7 malam di centrum Leiden yang sepi dan gelap dengan suhu 3º C seperti kalkun jalan-jalan di dalam kulkas. Tangan dan kaki beku karena lupa membawa sarung tangan tebal sampai tidak bisa banyak memotret gedung-gedung Leiden yang tua dan eksotis. Menarik sekali pokoknya. Saya akan bercerita lebih panjang lagi kalau pikiran saya sedang kosong dari pekerjaan di laboratorium.
Nantikan ya.. See you in the healthy body.









Vossendijk, 30 November 2014
Pukul 2.00 am

Kamis, 20 November 2014

Marriage

I want to tell you what I think about marriage. Since I am not a story teller and don’t have much occupation in long lines sentence, this story will come up in simple way. Marriage, I am a married woman and you don't have to believe me because I am saying this not to convince you about anything. Well, people keep saying that I am still as cute as teenager and I look inclusive when they chat with me, people can talk about everything without burden in front of me. Yes, I am. Why not to become an inclusive one while we live in social community? My own privacy is still here, just fine and nothing changes. Marriage is in the same stage about what I previously talk, my marriage and my privacy is still here, inside me and my husband while people are there. It’s one thing.

The other thing is that how I decided to get married. This year, special event was going on when someone recited the sacred sentence which means he changed my status, became a married woman. Perhaps, everything around was different since that time, people say. But what actually happened was that I feel as usual as the previous moment before I got married. I think, it’s because of my perspective about marriage. I decided to get married in order to have a happy and relieved life, with someone I love. Happy, because finally I can be together with him, the one I can’t take my mind off for long stretches of time. Relieved, because finally people and God witnessed us being together. I know, love is poisonous sometimes, it has it’s own concentration. But as Raima said, “love perhaps is similar to taking care of a garden. Hoping that in your garden, a beautiful flower will bloom, a cool breeze will blow in the presence of warm sunlight and occasionally a magical shower.” I am doing in simple way and do not care too much about or afraid of what future is going to be as long as I am doing the right thing, I just need to maintain the feeling, the chemistry, and not the love because the love inside me is just still the same, I fall for him almost everyday and everytime since 5 years ago. It is something beyond our mind, we together still do not know how we can be in love by this way. Especially because since 2008 we did not meet frequently as other lovers do. They say, they cannot do as I do, to live in separated place while being in love with the one. I say, It’s not something to think of, just go along with what we believe and finally we can see that everything is fine here and there, happily.

To get married, in my perspective, is not something that I have to think it over after I met him. In the moment when I decided to know him more and more I thought that I would not end up in hating him or being hearted-far from him. So, I tried to catch him up everytime he runs away, to hug him everytime it feels like we are faraway. I made it. By that way, how can I let him go simply? No, I don’t think so. Since then, I thought that we will get married after all. As of the day and the other days in the past that I will not let anyone or anything in this world become the reason of our separation on purpose. How? Just do the best as I can, believe that miracles happen almost everytime, I create it, he creates it, people do, and universe does?

Technically, it is not simple though, but I give you the big picture of how marriage for me is. Probably we have our own philosophy regarding marriage. As we can see that there are people who decided to make baby without first getting married. They live together until getting old, they finally get married when their child are adulthood already. It is something beyond my mind too because I never think to have long lasting relationship without getting married. Moreover for Javanese, it doesn’t make any sense, at least in my culture. I do not say this to only consider my marriage is a culture-business, neither does it only to abolish any rules. More than those, I decided to get married because I want to perpetuate my relationship with someone I love and perpetuate the love (to all surroundings) I have inside me. Day after day, my marriage story will give new insight for me and I still need to adapt everytime it goes up and down, I suppose. In this one side of walk of life, what a long journey, by the way.

Jumat, 14 November 2014

Late Autumn

Malam ini hujan turun lebih deras dari biasanya. Aku melaju di sepanjang Erasmuslaan dengan lampu belakang sepeda yang tidak menyala karena selalu lupa menyalakannya. Sudah 5 hari aku pulang malam, sebenarnya bukan malam, mungkin sore, karena pada musim panas lalu, jam 5 sore masih terang dengan matahari yang masih setia bersinar. Namun musim gugur memiliki kesannya sendiri, ia membuat malam lebih cepat datang, udara semakin dingin, angin tidak lagi bertiup dengan sepoi, orang tidak lagi bisa keluyuran tanpa membalut badannya dengan lapisan sweater dan jas hangat tidak pula tanpa sarung tangan atau sepatu boots.

Sekarang aku harus membiasakan diri untuk berangkat ke Geert Grooteplein-Zuid pukul 8.30 pagi dan pulang ke Vossendijk pukul 5 malam. Mungkin puncak dari ketidaknyamanan ini adalah pertengahan Desember hingga awal Januari dimana pukul 8.30 pagi masih gelap, dan pukul 5 sore sudah gelap. Aku mulai lupa panasnya Jakarta, Yogya, atau Semarang. Aku mulai lupa hangatnya matahari. Sudah sejak aku tiba di sini, segalanya dingin, dingin, dan dingin. Mungkin kamu bertanya-tanya, seperti apa dingin di sini. Uniknya, dingin di sini tidak sampai membuat badanku sakit, tidak sampai membuatku bersin-bersin, tidak sampai membuatku demam, tidak sampai membuat tulang-tulangku linu. Hanya saja ketika sedang di luar, dingin itu tetap menusuk tulangmu, dingin itu tetap membuat nafasmu mengeluarkan uap, dingin itu tetap membuatmu menyesal mengapa kau tidak memakai pakaian yang lebih tebal lagi.

Oh iya aku lupa, ini masih musim gugur, belum pula musim dingin. Mungkin aku akan memberitahukan seperti apa dingin musim dingin di sini, mungkin berbeda dengan dingin musim gugur.

Senin lalu, ketika pertama kalinya aku pulang malam setelah seharian berada di laboratorium, aku merasa terasing. Meskipun hampir 3 bulan di sini, saya adalah orang yang jarang pergi ketika hari sudah gelap. Aku akan mengalami sindrom keterasingan ketika aku harus menjumpai diriku berkeluyuran ketika hari sudah gelap. Diriku akan menjadi gelisah dan mulai merasa aneh seolah sedang di dunia lain. Aku berpikir "Kenapa aku bisa ada di sini sendirian? mereka yang ada di sini ini siapa? Bukankah aku sedang hilang? Ini dimana? Kenapa jalan pulang menjadi semakin jauh? Kenapa diriku tidak segera sampai rumah?", begitulah rasanya. Itulah rasanya hari Senin sore kemarin. Ketika aku harus mampir supermarket untuk membeli makanan, jalanan seperti perkampungan mati, sepi, terang dengan lampu jalan temaram, mobil satu dua di lampu merah, ada orang bersepeda kencang dengan mantel hitam tebal dan penutup kepala. Sampai kamar aku memutar film-film musim gugur di Eropa, dan begitulah kondisinya, seperti yang aku alami. Membuatku semakin sadar kalau aku ada, tidak hilang, tidak di dunia lain, hanya di Eropa, hanya sejauh 13 jam kecepatan pesawat terbang dari rumahku di timur jauh.

Hari ini aku memberhentikan pekerjaanku terkait protein data base pukul 5.15 sore, berpamitan dengan Profesor Vriend untuk pulang. Keluar Labortorium seperti biasa, hari sudah gelap. Aku berjalan dari Grooteplein ke Huygens karena aku memarkir sepedaku di sana. Aku ada janji dengan pihak KBRI di Thomas van Aquinostraat pukul 6 sore, maka aku memutuskan untuk minum segelas coklat panas dulu di Huygens. Entah kenapa aku sekarang memiliki hobi baru di musim gugur ini. Setiap pagi aku selalu minum Espresso, siang aku minum Cappucino, sore minum coklat panas. Espresso, Cappucino, dan Coklat di sini benar-benar sangat memanjakan lidahku, enak sekali bila dikombinasikan dengan udara dingin yang menusuk tulang. Gaya dalam meminumnya pun unik, aku selalu memegang cup dengan kedua tangan, meniup minumannya, dan mulai menyeruputnya dengan lidahku. Mungkin ini adalah sensasi yang hanya bisa kujumpai di negara empat musim. Terima kasih kepada teman-teman dari Italy yang mengajarkan bagaimana menikmati kopi dengan sebenar-benarnya nikmat.

Malam ini aku benar-benar menikmati hidup. Aku mengobrol dengan kawan-kawan di TvA sampai pukul 8.30 malam, pulang sendiri ke flat menikmati hujan yang mengguyur lumayan deras, sungguh tak peduli pada tubuhku yang kedinginan atau jaket dan sepatuku yang basah, tak peduli pada ketidaklengkapan suasana. Mungkin ini adalah waktu diriku menerima segala kondisi yang sedang terjadi, tidak merasa terasing lagi. Segalanya terasa indah dan membahagiakan. Musim gugur akan menjadi satu musim yang aku rindukan seumur hidupku nanti.

Vossendijk
Pukul 22.58

Minggu, 02 November 2014

Perempuan

Suatu hari di Jogja.

Setelah pulang dari kampus, rumah kakakku sepi. Keponakanku sedang bermain di luar bersama teman sekolahnya. Aku menuju meja makan, melihat hidangan makan malam sudah rapi tertata di meja. Mbak Umilah yang memasaknya. Keponakanku pun pulang, berteriak-teriak dengan suara khasnya mencari mamanya, mengira mamanya sudah pulang."Lek Niha, mama mana?" tanyanya. "Belum pulang sayang", jawabku. Dia balik badan dan kembali bermain di luar, di rumah tetangga. Anak itu tidak bisa dipisahkan dari ibunya. Ia selalu menghargai kakakku sebagai sebenar-benar ibunya. Hal yang paling membuatnya sedih adalah bila kakakku sedih, marah, atau merasa ibunya sedang tidak serius kepadanya. Itu membuatku sangat haru, betapa manisnya dia.

Kakakku pun datang, pulang dari kerja dan mencari anaknya. Suaminya waktu itu sedang ke luar negeri entah kemana aku tidak ingat saking seringnya dinas. Aku bilang kalau anaknya sedang bermain entah dimana. Kakakku bilang "kamu ini gimana kok nggak tahu dimana dia main". "Biarkan dia bebas", jawabku. Lalu aku mengambil makanan dan menyalakan TV sementara kakakku masuk kamar berganti baju dan mulai mencari anaknya.

Dua orang itu datang, keponakanku begeleyotan dipinggang mamanya sambil bercerita menggebu-gebu tentang kegiatannya hari ini. Kakakku setengah mendengarkan setengah tidak sambil melihat-lihat bunga anggreknya. Keponakanku mulai marah, "kok mama nggak memperhatikan aku sih! yaudah kalo gitu aku nggak mau lagi sama mama". "Kamu cerita aja, bunda dengerin kok" jawab kakakku. "Mama tu mbok ya kalau diajak ngomong lihat aku gitu lho", keponakanku protes. "Iya sayang, ayo dilanjutkan ceritanya. Oiya, mau makan apa? Bunda lapar nih makan yuk" jawab kakakku. "Nggak mau!" keponakaku sambil melipat kedua tangannya.  Akhirnya kakakku harus mengiming-imingi sesuatu pada anak kecil itu agar mau makan.

Keponakanku adalah anak yang "mama-sentris". Dia bisa dewasa, bisa juga manja, dengan taraf seperti anak kecil pada umumnya. Karena dia belum mempunyai adik juga sih..

Jam semakin menuju malam. Jam 7.30 malam saat kakakku menemani anaknya belajar, kakakku terlihat memegangi HP-nya. Keponakanku pun berkata "Kok mama diem, mama kenapa?", dia sensitif bila mamanya diam karena tidak mau melihat mamanya sedih. "Tidak apa-apa sayang, sudah belum belajarnya? kalau sudah ke kamar yuk tidur bareng bunda, ngantuk nih" kakakku menjawab. Bila aku mengamati, kakakku selalu pergi ke kamar lebih cepat bila tidak ada suaminya. Entah tidur cepat atau kenapa. Bila ada suaminya, mereka selalu lebih lama mengobrol dan bercanda di ruang tengah, terkadang bercanda bertiga di dalam kamar sambil tertawa-tawa bahagia. Setiap minggu mereka selalu pergi ke luar rumah mencari suasana baru, olahraga bersama, pergi ke desa-desa bersama, mudik ke kampung halaman sambil membawa banyak oleh-oleh, belanja bersama, masak makanan khas di rumah bersama, dll. Memang mereka keluarga yang harmonis dan menjadi panutanku.  Beruntung aku pernah tinggal bersama mereka. Tentu saja itu pula yang membuat keponakanku tidak mau lepas dari mamanya, karena bersamanya itu sudah cukup, bahagia.

Kakakku orang yang "suami-sentris", akan sangat sedih bila tidak ada suaminya di rumah. Bila suaminya di rumah, itu adalah hal yang paling membuatnya bahagia, meskipun ada anaknya atau aku atau ibu dan bapakku, tetapi tanpa suami, kakakku seperti kehilangan setengah jiwanya. Hari-hari dilewatinya dengan banyak diam dan murung. Meski pun ketika bertemu banyak orang dia cerewet, tetapi aku tahu, dalam lubuk hatinya paling dalam, kakakku merasa kesepian tanpa suaminya. Aku pikir perempuan yang seperti kakakku tidak salah, karena menurutku, ketika perempuan memutuskan menikah, dia sekaligus memutuskan untuk menyerahkan jiwa raganya untuk suaminya. Setidaknya perempuan Jawa kebanyakan seperti itu. Seperti ibuku, budheku, sepupu-sepupuku, dan kakak-kakakku yang lain. Ketika suaminya tidak ada, wajar bila hidupnya tidak lengkap.

Adakah kalian perempuan sedemikian? Mungkin memang perempuan memiliki dunia yang tidak mudah dipahami, mereka memiliki rahasia yang tak terungkapkan. Mereka ingin mengungkapkannya, tetapi dunia ini tidak cocok untuk mendengarkan ungkapannya yang dalam itu. Oleh karenanya mereka banyak diam, menunggu, dan pasif. Sulit memang. Aku pun tidak bisa menembus diamnya kakakku, sedihnya dia, atau tangisnya dia dikala ada perasaan yang tak tersampaikan. Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Jadi, aku yang bersimpati ketika dia kesepian juga hanya bisa diam, melakukan apa yang bisa aku perbuat untuknya.