Jumat, 31 Oktober 2014

Threshold

Laki-laki yang terlalu mencintai perempuan itu bila dilihat dari satu sisi rasanya aneh, setidaknya bagiku. Agaknya kok gimana gitu, terasa seperti tidak mandiri dan tidak tangguh (laki-laki juga manusia ya? ya tapi kan rasanya sih, tidak mandiri, tetep). Bagiku, laki-laki yang tangguh ya biasa saja, normal sajalah. Bila mencintai perempuan, yang kerenlah gimana caranya, tidak cengeng. Atau mungkin tak terlalu mem-publish rasa cintanya, begitu cukup. Publish saja di wilayah privat, sebatas 2 orang. Oiya, tapi perempuan kan seneng ya bila pasangannya menyatakan cinta terang-terangan sampai seluruh dunia tahu. Hihihi.. saya sebagai perempuan terkadang juga begitu sih. Pingin banget suami menunjukkannya sampai semua orang tahu. Meskipun begitu, berlebihan itu tidak baik. Saya tetep memandang sebelah mata sama laki-laki cengeng yang getol menyatakan cinta ke perempuannya sampai mengganggu pemandangan. Sampai-sampai ketika orang itu muncul di permukaan, hal yang dilakukannya adalah memuji penuh puja perempuan yang dicintainya, tidak ada yang lain. Sesekali bolehlah, romantis, tapi tidak perlu berlebihan. Cinta ya cinta, tunjukkan dengan cara yang lebih enak dilihat oleh pasangan dan orang-orang di sekitar, dimana orang-orang akan bilang "so sweet" senormal-normalnya. Memang penting sih menyatakan rasa cinta ke perempuan, karena perempuan akan senang dengan begitu, itu yang membuat dunianya bahagia. Akan tetapi ketika tiap kali menyatakan cinta tidak harus orang lain juga harus tahu.

Pernah baca ini kan:

Wife: I love you
Husband: I love you too
Wife: Prove it. Scream it to the world
Husband: * whispers in ear * I love you
Wife: Why'd you whisper it to me? 
Husband: Because you are my world

^^

Wrong and Trouble

Today, I made a trouble in the road of which I was wrong by passing through bus way. A bus way here is a bus-special toll way. I was asking my classmate from Mexico: which the fastest way to get Nijmegen Central Station from Huygensgebouw is, because her flat is close to campus so I thought that she knew.

She gave me the direction and it was wrong at all. I felt strange because the way is too narrow to be passed by bus and bike, however, there is no direction that we, who are riding bike, are not allowed to pass through there. I was so scared, you know, can you imagine something like there is someone who rides his motor passing through a toll way? It’s alright to be fined, but what I was fear of is I was hit by the bus. What I thought along the way was that how I could be evacuated from that way because I was afraid of crash. I was going ahead as far as I can until I found the red bike road. Finally.. it was like finding a mainland after you are lost in the big sea with your little boat! Well, don’t ever ask about direction to the foreign people, you have to find the native one unless you get trouble like what happened to me today. 


Actually I know the way to go to Nijmegen Centrum from my campus, but I needed to find an Irakish shop where it sells a halal meat and the place is near the Central Station. You know, as long as I am here, I never eat meat if I do not go to Lent where a ‘Pasutri’ invited me to Indonesian student party. So I was going to Irakish shop because the shop sells chicken which the size is similar to Indonesian chicken, (at least that is what my friend told me). You will meet a very big chicken in every shop here. I’m not going to eat that kind of chicken because I will never be in the mood to eat something like that, moreover it is not halal. Today I am just feeling bored to be vegetarian. Because of it, I was almost hit by buses! What an incident!

Rabu, 29 Oktober 2014

A Year Ago

Hai,

Sudah setahun saya resmi meninggalkan Jogja dengan segala kenangannya. Meskipun selama 5 tahun Jogja tidak sepenuhnya lengkap karena kekasih saya tidak tinggal di Jogja, tetapi segala sudut-sudut kotanya terasa lengkap hanya dengan sekilas pandang dan kebersamaan dengan mereka yang pernah saya temui di Jogja.

Dimulai dari Mbak Lika, Shima, Mas Roni, Mbak Yun, Budhe Latip, tetangga rumah, para asisten rumah tangga mbak Lika, teman-teman dari berbagai kampus, teman-teman KKN, teman-teman magang, teman-teman di laboratorium, teman-teman organisasi, teman dolan (Ipah), teman dolan lain ke pantai dan ke desa-desa, para dosen, para mahasiswa, penjaja makanan di warung langganan, teman ngobrol di cafe dan di mall, teman-teman nonton film di bioskop, teman kursus, dan sebagainya yang menyaksikan aku berkembang di Jogja.

Rasanya sungguh klasik bila mengingat semua mereka di sana. Bila aku tak melalui kehidupan di Jogja, mungkin aku tak akan melalui kehidupan di tempatku sekarang.

Sudahlah.
Apakah ada kesempatan aku bisa kembali ke Jogja? Mungkin ketika aku datang, tempat itu sudah lebih baik lagi dari sebelum aku pergi.

Sekarang aku tengah bersiap untuk mengukir kenangan di sini, Nijmegen yang tua dan mungil.

Oiya, saya kangen sama keponakan saya yang masih lugu, Shima, anak umur 9 tahun. Aku bersamanya semenjak dia berumur 3 tahun, menyaksikan dia berkembang sebagai balita dan anak-anak. Sungguh menimbulkan haru bila mengingat keluguannya sebagai anak kecil tak berdosa. Segalanya indah. Baik-baik kamu di sana, Shima. Apakah 2 tahun lagi kamu masih selugu terakhir aku mencubit pipimu? :')

Vossendijk 219, Nijmegen
Pukul 21.37

Jumat, 24 Oktober 2014

Memori

Aku kadang bertanya, aku memiliki sindrom apa? Sebagaimanakah network sinapsis sel saraf di otakku? Kenapa aku selalu ingin kembali ke masa lalu? Apakah tiap orang seperti aku?
Kalau aku boleh jawab, sepertinya tidak semua orang ingin kembali ke masa lalu.
Aku selalu senang bila bercerita atau membaca cerita tentang masa laluku. Itu juga alasanku mengapa aku masih mempertahankan blog ini yang sudah berumur lebih dari 6 tahun, aku tak ingin pindah lapak. Mungkin aku orang yang tidak pernah menyesal untuk menjadi aku yang dulu. Aku selalu tertawa dan semangat membaca cerita-ceritaku jaman dulu, mengenangnya. Ingin sekali mengajak orang-orang yang bersangkutan untuk dapat larut bersamaku. Aku menyukai aku yang dulu apa adanya yang telah membentukku menjadi aku yang sekarang.

Bila aku jenuh memikirkan masa depan, dan terlalu kecewa dengan hari ini, aku pasti mulai menerawang ke masa lalu. Oh, memangnya ada ya detik ini? Well, aku tak terlalu paham dan sedang malas memikirkan bagaimana masa kini bisa terbentuk. Yang jelas, gambaran masa lalu itu begitu jelas, meskipun sudah tertinggal jauh di sana menjadi sebuah memori. Masa depan terlalu rumit bagiku, sekarang. (sekarang? sekarang kapan? waktu kan berjalan.. entahlah!)
Melihat masa lalu di perspektifku yang sekarang membuatku berpikir, mengapa aku dulu merasa begitu berat menjalani hidup (setidaknya berdasarkan cerita)? bukankah kejadiannya simpel (kalau aku ingat)? Sehingga, aku pikir, penting kiranya seruan "Take it easy! All will be going well! You will be what you think as now."
Tapi mungkin aku salah, bukankah tiap detik kita harus selalu mengusahakan yang terbaik? bukankah berusaha sebaik-baiknya itu tidak mudah? Kalau "take it easy", kita bisa terlena dan akhirnya kita tidak bisa memperoleh hasil seperti yang kita harapkan..
Mungkin pasrah adalah jawabannya. Setelah berusaha, selalu luangkan detik berikutnya untuk tawakkal, sehingga beban tidak menjadi berat. Sel sarafmu bisa istirahat dan bertumbuh kembang lagi.

Aku jadi sadar, betapa pentingnya menulis. Baiklah, aku akan mengabadi di sini dan di dimensi-dimensi lain, meninggalkan jejak, entah sampai kapan. Sebelum memoriku hilang seiring bertambah lemahnya vaskular dan metabolisme yang mempengaruhi kinerja otakku. Mungkin suatu saat ada kalanya aku tak ingat, namun aku masih bisa membaca kemudian ingat lagi, dan tertawa-tersenyum lagi dengan manis mengingat segala kejadian hari ini dan sebelum-sebelumnya.

Vossendijk 219, Nijmegen
Pukul 23.05

Selasa, 21 Oktober 2014

The Chosen One

Suatu waktu di rumah, saya didatangi kawan-kawan SMA. Mereka berbanyak orang hendak mengklarifikasi apakah benar saya sedang menjalin hubungan dengan calon suami saya (waktu itu). Apa mau dikata, memang benar, saya jawab iya. Lalu mereka bertanya lagi, apa sih yang membuat saya menyukai calon suami saya (waktu itu)? Reflex saya menjawab karena dia pinter. Hahaha.. bahkan anak TK pun mampu menjawab jawaban seperti itu. Tapi ya memang begitulah adanya. Lalu kawanku bertanya lagi, jadi kalau Wisnu (calon suami saya waktu itu) nggak pinter, saya nggak mau sama dia? saya jawab lagi, enggak. Pokoknya saya maunya sama orang pinter, titik. Mereka menyimpulkan: "Jadi kami-kami ini nggak pinter?". saya pun tertawa, "Ya disimpulin sendiri aja, terserah" . Lalu kawan-kawanku (yang juga kawannya Wisnu) mengiyakan kalau Wisnu itu pinter, memang pinter, dia pernah ikut oliampiade, mendapat nilai tertinggi di ujian akhir, bisa masuk STAN tanpa banyak kesulitan (siapa waktu itu lulusan SMA yang kalau keterima STAN lalu nggak mengambil kesempatan itu? mana ada), apalagi.

Itu salah satu cerita.

Hari ini suami saya memberitahu hasil skor TOEFL sama TPA Bappenas dia, saya nggak terlalu kaget, dia mengalahkan skor TOEFL dan TPA Bappenas saya tanpa banyak kesulitan. Awal tahun ini saya sempat ikut 2 tes itu untuk masuk S2 ITB dan semuanya jauh memenuhi persyaratan minimal. Tapi sayangnya saya nggak jadi masuk ITB karena ternyata mendapat unconditional letter of acceptance dari Radboud University Nijmegen. Good Bye ITB. saya tahu kemampuan kognitif suami saya, dia jauh di atas rata-rata, sedangkan saya cukup rata-rata saja. Bila tes IQ, nilai saya pas-pasan. Untung saja nggak kena genetic disorder Intellectual Disability, saya sudah bersyukur. Meskipun pas-pasan, saya punya mimpi tinggi untuk bisa sekolah sampai jenjang paling tinggi. Whatever everybody might say, I won't care.

Suami saya sampai sekarang masih lulusan D3, sedangkan saya sekarang hendak menamatkan S2. Namun hal itu tidak bisa dibandingkan karena nasib kami sungguh berbeda. Gelas kami bentuknya berbeda. Gelasnya berupa Abdi Negara, gelasku berupa sekolah. Meskipun kemampuan kognitifnya melebihi saya, namun dia belum bisa melanjutkan belajar sampai seperti yang saya capai sekarang. Namun saya tetap bangga padanya..

Dia selalu menjadi seseorang melebihi apa yang saya pikirkan. Cinta yang ada padanya kepada saya, seperti menjawab tantangan lagu klasik berjudul "More Than Words". Dia lebih memilih untuk menunjukkan secara nyata bukti cintanya daripada hanya berkata-kata. Tapi sebagai perempuan saya terkadang sering nggak melihatnya kalau dia benar-benar mencintai saya. Seperti yang suami saya bilang, manusia terkadang ingin melihat apa yang tidak dilihatnya daripada apa yang benar-benar tampak di depan mata. Itu membuat saya merana sendiri dan buru-buru melihatnya dari sisi lain. Setelah itu saya sadar, suami saya sungguh cinta, sungguh dewasa, sungguh sabar, dan menyayangi saya apa adanya.

Saya beruntung menjadi seseorang yang dia cintai. Bayangkan saja, mana ada laki-laki yang mau ditinggalkan istrinya 2 tahun lamanya dengan alasan ingin sekolah. Pasti hanya sedikit dan suami saya termasuk yang sedikit itu. Bahkan dia yang mendukung saya habis-habisan, sejak saya masih S1 dulu, “Lakukan dulu, jangan bilang nggak bisa” dia bilang, hal itu mengubah pola pikirku. Kalau dia tidak seperti itu, mungkin sekarang saya masih berdiam diri di suatu tempat di Indonesia, tidak berkembang, dan stagnan. Di Eropa, saya belajar banyak hal, banyak sekali, semua sedang ada di otak saya dan belum mampu saya tumpahkan ke dimensi lain.

Sekarang, suami saya sedang sendiri di sana, saya merasa bersalah karena dia bilang bahwa dia melakukan banyak hal sendirian. Yah, tidak berbeda dengan saya, saya juga sendiri. Bahkan untuk bisa ngobrol via Skype pun kesulitan karena perbedaan waktu 5 jam, apalagi di sini lama waktu siang dan malam tidak seperti di Indonesia. Suami saya harus meluangkan waktu sampai tengah malam untuk bisa mengobrol. Tentu itu mengganggunya karena dia harus bekerja pagi harinya, pekerjaannya menuntut produktifitas dan profesionalisme sebagai abdi negara. Sampai-sampai saya berpikir, mengapa kita yang saling mencintai bisa terpisah seperti ini? Mengapa harus begitu? Sampai sekarang saya tidak habis berpikir. Suami saya pun bilang “karena ini jalan kita, dijalani saja dulu, pasti nanti akan ada waktu kita bisa bersama-sama”. Aneh kan.. Karena kami sudah memilih dan karena memang semua ini harus dijalani, apa boleh buat. Tanggal 29 Oktober nanti adalah mensiversary pernikahan kami yang ke-5, dan kami terpisah jarak yang jauh, sangat jauh. Ketika berada di dalam pesawat dalam perjalanan saya ke sini, saya selalu memperhatikan peta digital, melihat pesawat saya sedang berada di mana, yang menjauh dari posisi suami saya dan orang-orang yang saya cintai berada. Ketika saya sudah berada di sini, membuat saya ingin pulang, tidak percaya bahwa kami benar-benar jauh di benua yang berbeda.

Dear my husband, thank you for becoming the best man ever for me, thank you for becoming the one I want to annoy for the rest of my life. I’m really proud of you and do respect you as my leader. Don’t get lost in your way for the sake of ours. I’ll be your love as the best as I can.



Vossendijk 219, Nijmegen
Pukul 19.15

Kamis, 16 Oktober 2014

Cerita Virtual Dari Leiden


Salah satu teman saya dari UGM dan mendapat beasiswa yang sama seperti saya, yang belajar Sejarah di Leiden University. It must be so fun to see Indonesia, particularly Indonesian history from broaden perspective in the place wherein has deep historical relationship with Indonesia. Moreover, Leiden University is so impressive with its biggest manuscripts collection of South-East Asia History, especially Indonesia, in the library. He also took some pictures of Indonesian history manuscripts regarding the library's collection, many Soekarno, Hatta, Sjahrir, and Kartini's books. Very lucky, because It's difficult to access the library unless we are Leiden's student. But someday, I'll go there somehow.

Minggu, 12 Oktober 2014

Nostalgic The Hague

Who I thought about when I was in Binnenhof, The Hague, were legendary heroes of Indonesia: Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, and Hamengku Buwono IX. They must have been there a hundred years ago. They must have stood in the place where I stood. Once I sat in the courtyard bench of the Parliament Building, I closed my eyes and made a wish for those who were there and made me peacefully stand tall over there.











Sabtu, 11 Oktober 2014

Hujan dan Sepeda

Hai, kali ini aku memiliki satu quote "Barangkali, ketika kita menikmati sebuah proses, maka kita sedang bersyukur". Semakin logis ketika aku ingat bahwa hidup adalah lakon yang diperjalankanNya. Menikmati proses adalah lambang ikhlas penerimaan kita atas pemberianNya.

.... aku mau cerita juga:

Aku mengerti mengapa orang sini memang butuh minum yang tidak hanya air putih, minuman penghangat tubuh dan menyegarkan. Seperti aku sekarang, aku tak bisa hanya minum air keran seharian. Pasti aku meluangkan waktu untuk menyeduh teh (dan karena hanya itu yang aku punya) yang aku bawa dari Jawa. Teh tubruk Dandang Biru satu pak. Aku merasa bersyukur aku membawa beberapa makanan yang awet berbulan-bulan dan praktis disajikan untuk dibawa sebagai bekal ketika kuliah dari pagi sampai sore. Bukan pula itu adalah makanan berkuah. Maka, tiap makan di kampus, aku selalu memesan sup kuah kental 'vegetarish'. Untuk menyegarkan mulut, tenggorokan, lambung tentu saja, dan menghangatkan badan. Hidup di sini aku selalu gemar makanan berkuah. Bila ada waktu, aku selalu memasak makanan berkuah. Karena udara yang kering. Kau tak hendak mendapati hujan deras, yang ada hanyalah hujan gerimis singkat yang galau dan romantis. Mungkin, para bule ketika melancong ke Nusantara, mereka terkaget-kaget diterjang air yang tersiram dari langit dengan volume besar dan mendadak. Sedangkan aku di sini hanya heran, ketika hujan aku tak pernah sampai basah kuyup, bahkan aku masih bisa bersepeda menikmati titik-titik air yang segera mengering ketika aku sampai lokasi tujuan.

Yang selama ini jadi pertanyaanku ketika di jalan adalah, bagaimana negeri kincir angin ini mengawali budaya bersepeda dan membangun jalur sepeda di setiap ruas jalannya, dengan rapi, teratur dan tertib. Betapa asoi bila di kota-kota di negeriku tercinta bisa menirunya. Jakarta, misalnya. Macet dan polusinya jangan ditanya. Mungkin nomer satu di dunia. Karena selama ini, hanya Jakartalah yang aku dapati kemacetan berkilo-kilo meter. Tanah di Jakarta kan rata-rata datar, untuk bersepeda tentulah asyik, tidak seperti tanah di desa yang kadang berbukit naik turun. Tidak Jogja, karena di daerah selain kota Jogja, tanahnya sudah berbukit naik turun, katakanlah Sleman. Namun begitu aku masih mendapati mahasiswa sederhana yang bersepda dari Jalan Kaliurang KM. 13 sampai kampus UIN SuKa, karena dia tidak memiliki motor. Apa boleh buat. Seharusnya aku meminjamkan motorku yang nganggur di rumah untuk dia.. :(
Jalur sepeda dan jalur pejalan kaki, aku masih membayangkan itu ada di Jakarta. Entah siapa yang bisa menginisiasinya. Satu yang aku tangkap tentang sebab, bahwa semakin banyak manusia, semakin sulit menciptakan tata kelola yang rapi dan terstruktur. Aku sudah mewanti-wanti suami untuk mulai bersepeda ke kantor. Toh cuma dari Cempaka Putih ke Lapangan Banteng, tak lebih jauh dari Vossenveld ke Hayendaalseweg. Tiga puluh menit adalah waktu yang aku perlukan pulang-pergi setiap hari dari apartemen ke kampus dan aku tidak mengeluh sama sekali, karena semua orang beitu, sama seperti aku. Apalagi bersepeda membuat otot perutku lebih kencang dan mengecil yang pada awal di sini agak melar. Apalagi bersepeda membuatku tubuhku hangat melawan udara dingin karena pembakaran kalori.

Itulah, What I love to stay here and about the Dutch.


Nijmegen pukul 23.43

Kamis, 09 Oktober 2014

Suami Tembem

Obrolan pagi ini lumayan menggemaskan

Selasa, 07 Oktober 2014

Kangen, Mimpi, Realita

Saya kangen. Kangen sama suami, diikuti kangen sama ayah ibuk di Indonesia. Sampe nangis sesenggukan tanpa henti, mata merah, hidung meler, perasaan rindu mengharu biru, sangat biru di relung jiwa. Sudah puluhan kali di sini saya seperti ini. Mungkin iya, waktu itu, pergi ke sini adalah keputusan paling bodoh yang pernah saya ambil. Menjauh dari frekuensi semua orang-orang yang saya cintai. Hingga hampir 2 bulan perpisahan ini, saya lupa bau suami saya, bau rumah ayah ibu saya, meskipun suara mereka masih sangat aku ingat. Mungkin iya, bila waktuku di sini banyak kuhabiskan untuk menangis, aku akan menyesal pada akhirnya. Apalah arti menyesal kalau sekarang pun saya merasa menyesal telah menjauh dari mereka. Mungkin iya, menyesal itu akan selalu ada, baik di saat saya memutuskan iya atau tidak. Mungkin iya, bahwa hal paling baik yang bisa saya lakukan adalah mengikhlaskan segalanya. Mengikhlaskan seluruh keputusanku, baik yang sudah maupun yang akan. Mengikhlaskan segala sesuatu yang terjadi, baik yang sudah maupun yang akan. Tapi berat! Mana ada manusia yang setiap waktu bisa ikhlas.
Saya tak juga memandang-mandang kehidupan dari kacamata orang banyak. Padahal saya berada di sini salah satunya adalah untuk itu. Dan juga untuk menjalani mimpi-mimpi yang saya kira indah di masa lalu. Sekarang pun saya masih bermimpi, setinggi-tingginya. Ah mungkin saya adalah manusia yang hidup dalam mimpi yang tak juga sadar akan realita. Karena realitanya adalah saya harus menyelesaikan mimpi masa lalu saya dengan realistis dan membuatnya berakhir dengan indah yang orang lain tak tahu betapa puasnya diri saya nanti.

Ikhlas dan Chemistry

Aku tau rasanya, ketika aku ikhlas, pelukmu mampu meliputi seluruh jiwa ragaku. Ketika serotonin dan dopaminku mengaktivasi reseptor-reseptornya dengan maksimal, membuatku merasa bahagia. Ikhlas adalah sesuatu yang lain, ia tidak tergantung pada chemistry. Ia berdiri sendiri, dengan sebab yang tidak aku ketahui asalnya. Sedangkan chemistry-ku sangat bergantung padanya. Bahkan aku bisa membedakannya, pelukmu tak berasa seperti apa-apa, kau seperti seseorang yang lain, bukan bagian dariku ketika aku tidak ikhlas.