Sabtu, 22 September 2012

Medicament

Malam ini Bapak berkata-kata lagi. Ini momen sudah sekian lama kutunggu.

Bapak bercerita tentang Wali. Wali bisa berarti tarikan dan kekasih. Wali pasti mengetahui kekinian dan keesokan. Wali adalah seseorang yang disukai dan dicintai Gusti Allah, sehingga orang itu diberiNya cahayaNya di dalam hatinya. Semua yang tampak padanya hanya Allah, Allah, dan Allah. Namun Gusti Allah tak egois, dijadikanlah orang itu turun ke bumi lagi, dikurangi NurNya sedikit pada diri orang suci tersebut sehingga ia terlibat dalam urusan duniawi dan menjadikannya bermanfaat untuk masyarakat dunia. Namun begitu, orang tersebut telah dipatenkan Gusti Allah sebagai waliNya di muka bumi. Wali tidak harus alim ulama. Mereka mungkin adalah pedagang di pasar, petani, maupun orang kaya. Banyak waliNya di dunia namun banyak juga yang tidak menyadari bahwa dia adalah waliNya. Nur Allah seperti lampu yang membebaskanmu dari gelap gulita, sehingga matamu mampu melihat kebenaran dan keaslian.

Wali Songo, adalah Wali yang terlibat dalam pembedaran Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan-kerajaan di Nusantara termasuk Kerajaan Demak di Jawa.
Dalam urusan pekerjaan untuk keberlangsungan hidup di dunia, manusia hanya diwajibkan untuk selalu mengusahakan yang terbaik. Hasil adalah sebuah pemberianNya, keputusanNya. Manusia memang diberi akal untuk menyimpulkan sesuatu atas segala usaha yang dikerjakannya dan menyangkut hasilnya. Dan itu tidak salah. Hanya saja, jangan pernah menjadikan kesimpulan-kesimpulan itu sebagai pedoman (terutama sebagai niatan).

Imam Syafi'i. Bapak ngendiko, kita tak akan pernah paham memikirkan bagaimana seorang Imam Syafi'i beribadah. Misalnya saja, beliau mengkhatamkan Alqur'an 60 kali tiap bulan ramadhan yang digunakannya sebagai bacaan shalat. Secara logika, itu sebuah ketidakmungkinan, karena baliau masih sanggup bermuamalah dalam kesehariannya di bulan Ramadhan. Namun itu nyata. Kanjeng Rasul membaca surat pendek dalam shalatnya yang dimakmumi para shahabat. Namun disabdakan dalam hadits riwayay 'Aisyah r.a.,  bahwa kita tidak perlu menanyakan tentang kualitas shalat Kanjeng Rasul. Pelajaran eksplisit untuk umatnya hanyalah sunnah-sunnahnya. Imam Syafi'i mengajarkan kita tentang betapa butuhnya kita akan Allah sehingga dalam urusan ibadah, beliau beribadah melebihi Rasulullah dalam hal kuantitasnya.

dst..dst..

Guru Spiritual

Jadi, ada tiga guru spiritual berwujud manusia untuk saya. Ibarat dari metode mereka mengajar manusia, dari ketiganya masing-masing adalah:

1. Utusan yang sedang menempati surga, dan menyampaikan kebenaran surgawi kepada penduduk bumi dengan cara mengiming-imingi kenikmatan hidup di surga. Melambai-lambaikan tangan dari surga kepada penduduk bumi, yang sedang dilanda kesesatan, agar mau naik ke atas berbondong-bondong dengan penduduk bumi lainnya. Yang diajaknya, ada yang sampai ke surga karena berhasil menyamakan frekuensi sehingga langsung tertarik ke surga secepat kilat dan ada yang tidak sampai surga karena gagal menyamakan frekuensi dan banyak yang tidak menggubris lambaian tangannya.

2. Utusan yang bertempat tinggal di surga namun karena berpikir bahwa kondisi kesesatan di bumi sudah dalam taraf stadium IV, sehingga ia merelakan untuk turun sendirian ke bumi dan mengajak langsung penduduk bumi segera naik ke surga. Ia juga rela hati membuatkan lift untuk penduduk bumi yang kesulitan naik ke surga karena kepincangannya. Di bumi, sekaligus ia mentransformasi beberapa penduduk bumi untuk dapat berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa kesehariannya, bahasa surga. Namun masih banyak penduduk bumi yang gagal naik ke surga karena gagal komunikasi dan salah paham atas ajakannya, karena sang utusan sering menggunakan bahasa surgawi bukan bahasa penduduk bumi. Tidak semua penduduk bumi sepintar yang yang ia duga ternyata.

3. Utusan dari surga yang turun ke planet tetangga planet bumi lalu mengajak penduduk bumi yang sedang dalam kesesatan untuk naik ke surga. Ia menyediakan jembatan linier dari bumi ke planet tetangga planet bumi tersebut untuk kemudian sama-sama naik ke surga dengan kereta kuda bersayap yang sangat besar. Ada yang tidak berhasil terangkut ke surga karena kereta kudanya mengalami beberapa kerusakan sehingga ada lubang di sana-sini membuat penduduk bumi jatuh lagi tertarik ke bumi.

Minggu, 16 September 2012

Afterglow


Call for you, Sun.
Don't be full up of meeting me every evening.
I've just begun to learn how you can put my mind to this rest.
The afterglow, Lembayung-Jingga.

Kepercayaan

Satu pertanyaan, "Bagaimana mekanisme datangnya kepercayaan?" Aku memang pernah mengalaminya, namun ku tak bisa mengejawantahkan secara sistematis. Sulit sekali buatku merangkai bahasa itu. Padahal, bahasa buatku adalah segala-galanya. Betapa sulitnya hidupku, kurasa inilah yang membuatku sering merasa sepi sendiri.

Kepercayaan, sesuatu yang dapat dengan sangat kuat menjadi pondasi dan motivasi bagi seseorang dalam mewujudkan apa yang diharapkan dalam hidupnya. Kepercayaan adalah sebentuk energi. Mungkin kepercayaan memang hanya datang dari Sang Penyuplai Energi. Dia mengkaruniakannya hanya kepada makhluknya yang berjulukan manusia. Berbagai macam kepercayaan, Dia memberikannya kepada manusia yang dikehendakinya.

Pernahkah merasa beruntung telah dikaruniai sebuah kepercayaan? Atau merasa sial? Mungkin tergantung kualitas dan kekuatan doa dan usaha seorang manusia juga.
Kepercayaan. Barangkali dari sebuah adanya kepercayaan di hati, maka Tuhan begitu mudah mengambil langkah "Kun Fa Yakun". Tidak segan-segan.

Katakanlah, bahwa ketika kau berumur 2 tahun kau sudah mulai diajari membaca Al Qur'an. Umur 5 tahun sudah fasih membacanya. Umur 6 tahun, kau berhasil mengkhatamkannya. Dan mulai saat itulah kau membangun kepercayaan diri bahwa kau akan mampu menghafalkannya pada umur 12-13 tahun nanti. Sebentuk angan yang lebih banyak porsi ketidakmungkinan daripada kemungkinan, bukan? Itu untuk yang tidak percaya bahwa kau sebenarnya bisa. Karena, sudah banyak bukti. Kau memiliki porsi kemungkinan yang sama dengan orang-orang yang telah sukses itu. Untuk benar-benar bisa hapal kau hanya bermodal percaya saja bahwa suatu hari nanti kau bisa menghafal 30 Juz tanpa cacat dengan lagu yang begitu indah. Itulah bagian tersulit. Membangun kepercayaan diri. Setelah kau percaya kau bisa, maka seolah-olah tangan Tuhan benar-benar ikut campur langsung dalam proses usahamu. Dan memang Tuhan ikut campur. Tidak segan-segan, Tuhan pun seperti berucap "Kun Fa Yakun" untukmu. Dan memang demikian. Dari kacamataku, seperti mustahil saja bahwa kau telah benar-benar bisa menghafal 30 Juz tanpa cacat dengan alunan lagu yang merdu. Sepertinya baru kemarin kau mengeluh bahwa kau tidak akan bisa menghafal sebanyak itu. Selamat, usia 12 tahun sudah berhasil menjadi Hafidz/Hafidzah bil ghaib. Sungguh hebat. Terutama hebat dalam membangun kepercayaan diri dan istiqomah dalam berusaha. Kau sudah lupa kesulitan-kesulitanmu dulu bukan? Pastilah kini segalanya terasa mudah bagimu. Keajaiban adalah campur tangan Tuhan secara langsung. Sekarang apalagi cita-citamu? Menjadi Sarjana? Doktor? Imam Masjid? Scientist? Atau aktivis kemanusiaan? Kau hanya tinggal percaya saja selanjutnya, tidak sulit lagi bagimu menyulut sebentuk api yang lain itu.

Bagi yang tidak menyadari bahwa Tuhan benar-benar ikut campur dalam cita-cita luhur tersebut, itulah orang-orang yang sebenar-benarnya sial. Bagi yang menyadari kehendak dan kekuasaanNya, merekalah sebenar-benarnya manusia yang beruntung. Baginya, terjagalah ia dari segala aib yang disembunyikan dunia. Apalagi bagi Sang Penghafal KalamNya, kalianlah rahmatNya yang juga nyata. Kalian yang terkasih dan berlimpah kasih sayangNya. Betapa irinya aku.. Ah, sebenarnya dulu aku bisa. Seharusnya. Namun apatah, aku tidak percaya. Tuhan pun enggan mengulurkan tanganNya padaku. Aku bukan bagian dari kehendakNya yang itu.

Kini, aku sedang berusaha membangun sebentuk kepercayaan pula akan sebuah cita-cita. Alangkah susahnya.. Demi meraih rangkulan kasihNya. Doakan saya.

I know who you are. You're never very far..
We'll be higher than we thought we'd be, because you showed me How to Believe. ~ Bridgit Mendler

Senin, 10 September 2012

Catatan Sore

Seperti halnya kuliah tadi pagi, ini adalah tulisan random.

#
Dosen-dosen profesi UGM dengan cerdasnya memberikan analogi-analogi yang ciamik.
Apoteker ada untuk memberikan informasi dan konseling, bukan untuk menambah masalah, dalam hal ini lingkup kesehatan
Saya hendak menjadi apoteker, itu adalah suatu profesi dan hal yang tergolong spesifik di dunia ini. Setelah nanti saya resmi menjadi apoteker,  maka saya harus jeli mengidentifikasi masalah pasien, bijak-etis-akurat dalam memberikan informasi dan konseling yang dibutuhkan pasien. Hal tersebut pun juga tergolong sebagai bentuk pengabdian. Alangkah kerennya...
Saya, pun juga bukan hanya seorang calon apoteker, namun manusia yang juga berinteraksi dengan orang lain yang bukan hanya seorang pasien. Kemajemukan tipe manusia di dunia ini menjadi tantangan besar untukku.
Sekarang menginjak ke ranah virtual. Saya yang aktif berkecimpung di dalam beberapa sosial media, menjadi kepikiran untuk juga melakukan pemberian informasi dan konseling, bukan problem maker disana. Sejelek-jeleknya, saya memberikan informasi meskipun bukan konseling. Sebenarnya ini bahasan sudah agak kadaluarsa bagi saya. Karena sudah bertahun-tahun yang lalu saya introspeksi bagaimana supaya tidak kebanyakan mengeluh di sosial media. Tapi karena tadi kuliah membahas tentang kewajiban apoteker mengenai "Informasi vs Konseling", jadilah saya menulis ini.
Bagi saya, memilih untuk seperti itu bukan hal yang susah. Awalnya, membenahi mindset mengenai sosial media, lalu merubah niatan dan tujuan.

Mengenai jenis manusia yang bersikap di sosial media, janganlah pula dipikirkan. Kebanyakan kerjaan orang psikologi adalah mengelompokkan orang menjadi tipe-tipe yang beraneka ragam.  Bila kita terjebak ke dalam jurang pengelompokan itu, tidak cerdaslah kita. Bagiku, pengelompokan manusia hanya diperlukan sebagai formalitas.
Misalnya saja sewaktu melamar pekerjaan, tentu kita akan ditanya "Apa kelemahan dan kelebihanmu?". Nah saat itulah kita perlu mempelajari hal psikologis itu. Karena segala tes psikologis akan selalu seperti itu guna untuk kemashlahatan perusahaan/company/etc.

Namun bila memang sulit berubah, ya ndak apa-apa. Saya pribadi memahami, mengapa orang suka mengeluh di sosial media. Saya nggak pernah ambil pusing. Kalau saya risih ya saya block atau remove atau mute atau apalah itu. Namun bukan berarti saya membencinya atau menyalahkannya, karena saya yang bermasalah, bukan dia. Itu salah satu cara saya memahami kemajemukan manusia. Percaya, di suatu fase, manusia akan bosen mengeluh. Di suatu fase, ia akan sangat full of information, dan juga sangat kita perlukan. Manusia seperti itu memiliki guna untuk manusia lain yang mungkin tidak kita tahu, jadi hal apa yang membuat kita memiliki kebencian? kitalah yang rugi, tentu saja.  Ini bukan hanya soal mengeluh, namun segala apa pun yang membuat kita membencinya atau merasa terganggu oleh manusia selain diri kita.

#
Ah ya, ada satu dosen lagi yang tadi pagi memberikan analogi. Tapi bahasannya beda bangeettt. Tadi, sewaktu kuliah farmakokinetika klinik, dosen saya menerangkan bahwa obat yang diberikan secara ekstravaskuler, bioavailabilitasnya memiliki opportunity 0-1. Kebanyakan < 1 pokoknya. Selalu ada yang tidak nempel ke reseptornya. Bahkan, yang intravaskuler pun, kemungkinan tidak selalu 1 bioavailabitasnya, tapi masih saja dianggap 1. Bagaimana bisa ada standardisasi bioavailabititas intravaskuler itu adalah 1? Ya begitulah, selalu ada standardisasi untuk banyak hal di dunia ini.
Analogi yang dipaparkan oleh Bapak dosen adalah, penetapan hilal di bulan Ramadhan. Bahwa ada sekelompok umat muslim yang ketika dia menghitung secara matematika, maka sudah ada bulan di sudut 1 derajat. Bulan apa itu? tentu saja bulan Ramadhan. Eh, tapi tunggu dulu, bulannya (hilal) belum kelihatan. Jadi tidak boleh langsung menetapkan tanggal tersebut adalah tanggal 1. Padahal hilal sudah 1 derajat, namun standardisasi menyatakan itu belum bisa disebut bulan baru karena belum terlihat mata.
Intinya, matematika dan keyakinan itu terkadang tidak memiliki muara yang sama karena hal keterbatasan rasio. Manusia majemuk tidak bisa saling memaksakan.

Indoneuthanasia

Memilih pemimpin di Indonesia saat ini ibarat memilihkan obat untuk pasien penderita penyakit komplikasi. Drug of choice yang ada hanyalah "jelek berefek atau sangat jelek berefek". Jadi, bagaimana? Seringkali yang terjadi dokter terkesan menghalalkan praktek Euthanasia. Apa kita juga hendak meng-euthanasia bangsa kita sendiri yang dilahirkan dengan tumpah darah yang tidak sedikit dan juga tidak sederhana? Oh, come on!!

~tulisan di pojok kelas ruang VIII FA UGM

Minggu, 09 September 2012

Alumnus Card

Baru tahu bahwa Ketua Umum KAGAMA adalah Kanjeng Sultan setelah menerima kartu ini. :)

Jenazah

Tadi pagi 2 jam duduk di depan jenazah, tepat 2 meter.
Sebelum duduk kusempatkan menyolatkan sang jenazah, simbah Mariyah, tetanggaku yang masih tergolong sebagai nenek meski trahnya agak jauh. Gara-gara ibu menceritakan bahwa dulu, saat aku lahir, mbah Mariyah bela-belain naik bus sendirian ke rumah sakit tempat aku dilahirkan, lalu menunggui ibu seharian di rumah sakit di kota Klaten itu, mungkin Mbah sempat kepanasan sewaktu perjalanan, dan tentu saja kecapean. hiks.... Terimakasih banyak mbah Mariyah.
Kalau itu aku, aku pasti nggak mau pergi-pergi kalau nggak ada kendaraan dan barengan buat jenguk tetangga atau siapa, oh... kau masih lebih baik Mbah, jauh lebih baik daripada cucumu ini.
Ibu juga cerita, Mbah Mariyah selalu mendengar tangis Mbak Us  sewaktu mbak saya itu masih bayi dan ditinggal ibu ke pasar. Mbah Mariyah pun mengambil mbak Us yang masih bayi untuk dininabobokkan kembali. Bapak nggak ada, karena saat itu Bapak sedang pergi ke Bandung selama seminggu untuk mencari pekerjaan.
Bertambahlah rasa hutang budiku ke simbah yang tadi telah menjadi jenazah di depan mataku.
Melihat badannya yang telah dibungkus kain kafan, berlanjut dengan gerimis di hati, dan menangisi diri... betapa dekat kematian itu.
Kini Mbah Mariyah telah berada di dimensi lain, begitulah nanti juga takdirku.
Sebelum simbah meninggal, beliau sakit, meski awalnya hanya dimulai dengan jatuh lalu keseleo, berlanjut dengan ketidaksembuhan selama berminggu-minggu dan akhirnya malaikat Izrail pun menjemputnya.
Konon, orang yang sakit parah lebih dari 3 hari maka segala dosanya terampuni. Itulah mengapa (mungkin) banyak orang yang meninggal setelah sekian lama sakit, Allah masih menyayangi hamba-hambanya, tentu saja.
Selamat jalan, Mbah..

Tadi sewaktu melayat, sempat terpikirkan, andaikan aku laki-laki, aku hendak menjadi pengantar jenazah kekuburan, bukan hanya pengantar, namun juga penggotong jenazah tiap kali ada orang meninggal. Ada bapak-bapak yang notabene teman dekat bapak, tiap kali ada orang meningggal di desanya, bapak itu selalu menggotong jenazah sampai kekuburan dan meletakkannya di liang lahat. Betapa arif pasti orang seperti itu. Namun aku perempuan, hal seperti itu tidak lazim dilakukan perempuan di desaku.

Nanti kalau aku meninggal, akan bagaimanakah diriku ini? Jiwa-Ragaku ini? Siapa yang akan mendoakanku? Niscaya kalau aku punya anak, akan kuajari mereka untuk senantiasa mendoakan para sesepuhnya.

Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah... Irji''i ilaa Rabbiki raadhiyatan mardhiyyah.
Fadkhulii fii 'ibadi, wadkhulii jannatii.

Minggu, 02 September 2012

Dear, My Little Fella

Memandangi wajah sendiri di depan cermin, sedang menangis pilu. Pernah kalian menyaksikannya? Jelek sekali. Dahi mengkerut, mata dan hidung merah mengeluarkan air-air garam yang tak habis-habis meski diusap berkali-kali. Untung punya Android yang dapat turut membantu untuk mengabadikan momen ini ke dalam blog. Hingga blog ini terisi curhatan cengeng tak berguna. Tapi aku harus cerita ke siapa lagi? Setan pun sedang tak peduli.

Ini hari memang memilukan, orang-orang pergi entah kapan balik lagi. Rumah dan jalanan sangat sepi. Kubuka kamar, gelap. Tak ada yang berpenghuni. Satu yang sangat ingin kujumpa, Dek Salsa, pun juga telah pergi untuk waktu yang lama. Pulang hanya 6 bulan sekali. Bagaimana aku tidak menangis? Karena kamarnya telah kosong.. Bajunya tinggal beberapa potong dalam lemari. Tak bisa lagi kugoda dia seperti tiap hari selama sebulan kemaren. Aku sedang tak ingat umur, jadi memilih untuk menangis saja. Karena sesungguhnya, aku sangat menyayanginya. Gadis manis penurut yang hendak beranjak dewasa, yang hanya pulang ke rumah 6 bulan sekali. Pernah kau punya adik? Jangan pernah kau sia-siakan. Seharian aku pergi, dan kami tak sempat berpamitan.

Belajar yang rajin ya dek.. Ngaji yang bener. Semoga aku bisa menjadi kakak yang baik. :')