Kamis, 30 Agustus 2012

S. Farm.,

Apa itu S. Farm? kayaknya nggak banyak orang mengetahui deh. Jadi, S. Farm., konon adalah Sarjana Farmasi gitu..haha.. Seperti ini nih, slempang Fakultas Farmasi memiliki 3 lapis warna. Suatu kali, 3,5 tahun lalu, dosen saya yang bernama Drs. Riswaka pernah memberi tahu bahwa slempang Fakultas Farmasi memiliki warna yang paling enak dilihat : putih, hijau, dan kuning. Waktu itu, nggak terlalu terbayang, karena wisuda rasanya masih jaauuuuuuuhhhhh sekali. Eh, tiba-tiba aja, kata-kata Pas Ris berasa telah terekam segar di dalam ingatan.


S. Farm.(koma). Koma? Ya, koma. Soalnya, tanggal 10 September 2012 besok sudah masuk kuliah lagi... sampai nanti sah bernama akademis "Nihayatul Karimah, S. Farm., Apt.", Trus habis itu, ndak tahulah saya akan bernasib gimana. Ini sedang mengumpulkan semangat berutinitas sepanjang 6 bulan pertama dan 6 bulan berikutnya yang pasti nggak kalah seru sama rutinitas 4 tahun yang lalu.

Ngomong-ngomong, untuk mendapatkan gelar S. Farm. nggak harus pake wisuda lho, itu cuma peresmian aja. Cukup dengan yudisium S1 Farmasi,  maka sudah boleh dapat gelar dan ijazah. Tapi, karena suatu misi, akhirnya ikut wisuda. Misi tersebut adalah membawa Bapak Ibu memasuki gedung Ghra Sabha Pramana, menyaksikan anaknya dipanggil "Nihayatul Karimah dengan predikat Cumlaude" ke podium, mendengarkan lagu Hymne Gadjah Mada yang dinyanyikan serentak oleh para mahasiswa dan paduan suara mahasiswa, dan yang terakhir foto bersama. Sedikit Euforia... Berharap mereka semakin rajin mendoakan anaknya ini, dan menyadari sudah sampai mana perjalanan anak terakhirnya ini. Semoga mereka bahagia. :)



Sewaktu wisuda, ketika saya ilang, karena sedang berproses mencari orang tua, saya ditemukan Bumi. Tiba-tiba aja nongol di depan mata seperti malaikat penyelamat yang lalu menyerahkan seiket bunga mawar merah jambu cantik. Sayang, adegannya nggak terekam, haha.. Terimakasihyaa... ^___^




Dan hari ini, datanglah link video dari Kincrut yang merekam jejak langkah Bumi dalam perjuangannya menjadi pendamping wisuda saya, kayaknya itu hadiah ulang tahun gitu buat Bumi. Karena eh karena, pada tanggal 28 Agustus 2012, tepat di hari wisuda saya, Bumi genap berusia 22 tahun. Panjang umur, yeobo... Semoga semakin ... (silakan diisi sendiri). heheh
ini nih, videonya. Terimakasih sedalam samudra buat Kincrut.




Jadi, rasanya, wisuda sarjana kemaren itu em am emmmmm hmmmmm, belum semuanya, belum tuntas, belum selesai, belum afdhol. Buku setebal 4 tahun lembar itu belum bisa aku tutup, belum,

Rabu, 29 Agustus 2012

Seharusnya

Yang tersayang tidak hanya ada di sini, namun juga di sana
Yang tercinta tidak hanya ada di sini, namun juga di sana.
Demikian Tuhan mengajari lewat wujud-Nya.
Bagaimana bisa kau lupa?

Bahkan Sayyidina Ali r.a pernah ditanya: Apakah panjenengan pernah melihat Tuhan?. Beliau balik bertanya: Bagaimana mungkin aku menyembah Dzat yang belum pernah kulihat?

Senin, 27 Agustus 2012

Himne Gadjah Mada

...H-1 Wisuda Sarjana...

Bakti kami mahasiswa Gadjah Mada semua
Kuberjanji memenuhi panggilan bangsaku
Di dalam Pancasila-mu jiwa seluruh nusaku
Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Indonesia

Bagi kami almamater kuberjanji setia
Kupenuhi dharma bakti tuk Ibu Pertiwi
Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku
Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara

Jumat, 24 Agustus 2012

Within Our Worlds

Rasanya, Yogyakarta adalah hanya titik, saat ini. Tidak seperti biasanya, yang selalu menyediakan koma. Dengan satu alasan, seseorang baru saja berkata bahwa akan ada yang terlewatkan besok subuh.
Kau tau kan, The arrow of the time always goes to one direction and never be happened in reverse. What if no time or what if it were happened in reverse, I would remake all things better and choose as best as I can.
Now, I've been trapped within this world, my own world with all the chaos', problems, sadness, sorrows, happyness. I accept and will never reject the destiny. The best at this time is to be responsible for what happened in the past. Kamu pernah diajarkan untuk demikian bukan? Beginilah aku sekarang. Running away is the worst thing I can do right now.

Kartini memperjuangkan emansipasi wanita tidak agar wanita menindas laki-laki atau mempermainkannya. Kan kamu juga tahu hal itu. Kan kita sama-sama terpelajar. Sama-sama tahu mana yang terlarang dan mana yang dianjurkan.

Hidup di dunia realitas selalu ada aturan mainnya, dimana hukum alam akan selalu berlaku buat kita yang tengah menjalani kehidupan ini. Kita sama-sama tak boleh mengingkarinya. Masalah, yang terlalu rumit dapat tidak terselesaikan dan menyisakan luka yang menganga lebar di hati, karena manusia seperti kita yang majemuk ini.

Biarlah. Jadi, biarlah aku menyelesaikan halku. Mari kita menuju sesuai dengan panah waktu kita, pada ruang kita masing-masing yang selalu menyimpan misteri ini. Kau dengan misterimu, aku dengan misteriku.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Hai, Brain?

Ini otak kenapa, kenapa kamu?
Ada 3/4 eksemplar, lalu 1 eksemplar kemudian, menunggumu dan sepasang matamu sekaligus untuk meniti patah-patah katanya. Sedang begini manjakah kamu setelah sekian puluh tahun kau kupaksa dan kupaksa, atau sedang marahkah kamu sekiranya aku telah berbuat dzalim terhadapmu?
Kau begitu penting dan kini kau sedang membahas kau sendiri, jangan terlalu lama.
Beralihlah ke bahasan selain dirimu, hai otakku.
Lihatlah matamu begitu tergiur akan segala yang dilihatnya untuk menunggu responmu.
Bagaimana aku kuat kalau kau sebegini lemah.

Matahari Sendiri

Di waktu Dhuha ini, matahari terlalu silau. Aku sedang memaksakan diri untuk menemukan titik keindahannya. Sebagaimana orang bilang bahwa matahari mirip dengan Cahaya di atas Cahaya. Maka aku berusaha keras memahaminya. Namun yang kutemukan hanyalah kehangatan merasuk tulang dari yang tadinya ditusuk dingin. Betapa aku belum cukup pula merasa bahwa hangat itu bagian dari keindahan, keindahan matahari.
Baiklah, begini pun aku bisa mengambil pelajarannya. Aku menerimanya dan memaafkan diriku yang begitu bodoh ini.
Duhai matahari, maaf, aku belum bisa mengatakan bahwa kau indah.
Sesaat berlalu...
Angin semilir pun datang, masihkah belum indah?
Bukan itu, aku sedang hanya menyoal matahari dengan segala kesendiriannya.
Bagaimana? Benarkan bahwa aku perlu banyak membaca dan berpetualang sekaligus? Katakan Ya.

Rabu, 15 Agustus 2012

26 Ramadhan 1433 H


 .........
اللَّهُمَّ ارْحَمْنَا بِالْقُرْآنِ , وَاجْعَلْهُ لَنَا إِمَامًا وَنُوْرًا وَهُدًى وَرَحْمَةً , اللَّهُمَّ ذَكِّرْنَا مِنْهُ مَا نَسِيْنَا , وَعَلِّمْنَا مِنْهُ مَا جَهِلْنَا , وَارْزُقْنَا تِلاَوَتَهُ آنَآءَ اللَّيْلِ
  وَأَطْرَافَ النَّهَارِ , وَاجْعَلْهُ لَنَا حُجَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ,

.........
اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا أَدَآءً بِالْقَلْبِ وَحُبَّ الْخَيْرِ وَالسَّعَادَةِ وَالْبَشَارَةِ مِنَ اْلإِيْمَانِ . اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ بِعَدَدِ مَا فِي جَمِيْعِ الْقُرْآنِ حَرْفًاحَرْفًا , وَبِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ أَلْفًا أَلْفًا

........
 Aamiin

(Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Kapan lagi kalau tidak Ramadhan tahun ini, dengan Allah terkasih yang menyediakan waktu selapang ini. Sungguh, mengkhatamkan kalam-Mu adalah kenikmatan yang tiada bandingannya. Perkenankan untukku kesempatan itu lagi, Ya Allah. Aaaamiin....)

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An'am: 115)

Sabtu, 04 Agustus 2012

Anak Semua Bangsa ~ Buru Quartets


Pramoedya Ananta Toer
Betapa murahnya hidup ini, Ann. Untuk seterusnya kita takkan dapat bicara dan bercengkrama lagi. Kau takkan lagi dengar cerita-ceritaku. Antara kita berdua tinggal hanya sepenggal kenang-kenangan indah, dan semua yang indah saja.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 51)

Biar aku pengagum Jepang, tak pernah kusangka bangsa yang tak pernah dijajah Eropa ini bisa memperoleh kehormatan Internasional begitu tinggi di antara bangsa-bangsa termaju di dunia. Kapal perangnya menjelajahi semua perairan dunia. Moncong meriamnya menuding langit dan laut. Betapa akan bangganya setiap bangsa Asia dengan kehormatan seperti itu. Tidak pernah merangkak berkowtow pada kekuatan asing.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 66)

Sampai dengan masa-masa hidup kita ini, Minke, terus menerus bangsa-bangsa dari utara datang padamu untuk menginjak-injak kau. Ya, sampai dengan masa-hidup kita, Minke. Kau sendiri ikut mengalami. Utara sendiri selalu jadi mata angin keramat bagi bangsamu, sampai-sampai dalam impian. Kan mimpi berlayar ke utara selalu dianggap oleh bangsamu sebagai firasat bakal mati. Kan sejak jaman-jaman tak dikenal bangsamu menguburkan mayatnya ke utara bujur? Kan ideal rumah kalian adalah menghadap ke utara? Kata Papa, karena dari utaralah datang kaki segala bangsa, meninggalkan kalian  setelah jadi buncit, dan sampah-sampahnya yang kalian dapatkan? Dan penyakitnya? Dan hanya sedikit dari ilmunya?
Miriam de La Croix. (Anak Semua Bangsa, p. 67)

Martin Nijman: Angkatan muda Cina yang terpelajar cemburu melihat kemajuan Jepang. Jepang yang itu juga, yang merampas bagian-bagian negerinya. Cemburu! Juga geram dan gusar karena kesadaran yang tak berdaya.
Minke: Seperti aku seorang.
Anak Semua Bangsa, p. 68

Mengapa kau hanya menulis dalam Belanda? Mengapa kau hanya bicara pada orang Belanda dan mereka yang mengertinya? Kau tak berhutang budi sedikit pun pada mereka seperti pernah dikatakan oleh ibumu. Apa yang kau harapkan dari mereka maka kau selalu bicara pada mereka?
Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu.
Kommer lebih mengenal Pribumi daripada kau! Kau tak kenal bangsamu sendiri. Melalui pembaca-pembaca Melayu, yang buta huruf pun ikut jadi tahu. Tergerak perasaan mereka, tersinggung perasaan keadilan mereka ….
Jean Marais. (Anak Semua Bangsa, p. 71-73)

Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan, dan pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu contoh yang dekat –aku, orang desa, tapi bisa juga sewa orang-orang Eropa yang ahli. Juga kau bisa. Kalau mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?
Nenek moyang kita menggunakan namanya yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya –kehebatan dalam kekosongan? Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu tetaplah penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.
Nak, di dunia ini tinggal kau sekarang yang ada padaku. Sendiri begini aku di dunia ini. Hampir-hampir tak tahu lagi aku apa guna masih harus bekerja begini. Sebenarnya aku bisa lewatkan hidup ini tanpa mengerjakan sesuatu apa pun. Tapi perusahaan ini tak boleh mati merana. Dia adalah anakku sendiri, anak pertama. Dia harus tetap sebagai anakku tercinta, sekali pun jatuh ke tangan orang lain. Dia tidak boleh rusak seperti yang lain-lain. Dia tak boleh hanya diperlakukan sebagai sapi perahan. Dia adalah sesuatu yang hidup.
Nyai Ontosoroh. (Anak Semua Bangsa, p. 100-105)

Batu-batu kali, kerikil, dan cadas pun bisa menyatakan perasaannya. Jangan remehkan satu orang, apalagi dua, karena satu pribadi pun mengandung dalam dirinya kemungkinan tanpa batas
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 108)

Perantau-perantau Jepang pulang ke negerinya membawa ilmu, yang dengan rendahhati mau mempelajari apa saja di negeri mana saja mereka mencari penghidupan, dan dibawa pulang menjadi daya pengembang negeri dan bangsanya sendiri. Suatu bangsa membutuhkan ilmu dan pegetahuan, kesadaran akan perubahan, terutama manusia baru berjiwa baru yang rela bekerja untuk bangsa dan negerinya. Ilmu penetahuan hanya syarat. Dengan ilmu-pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. Tuan tahu yang kumaksudkan: Eropa.
Khouw Ah Soe. (Anak Semua Bangsa, p. 116)

Dulu suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai: alam dan manusia sekaligus. Tak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi ….
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 123)

Perasaan tidak enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini kembali bicara ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi dia dan berbaik-baik? Tapi kau sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya. Dia salah seorang dari bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau tulis kalau kausudah mulai belajar mengenalnya!
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 237)

Berapa ratus, ribu tahun turun-temurun mereka tidur seperti ini? Sungguh jenis manusia yang sangat tahan, kuat. Antara sebentar tanganku bergerak membebaskan diri dari gigitan nyamuk dan kepinding. Dan mata tetap tak terpincingkan. Lama-kelamaan aku jadi jengkel dan duduk dalam kegelapan. Tapi nyamuk dan kepinding tidak peduli pada kejengkelanku. Mereka terus juga jahil dan haus darah seakan tak ada makhluk lain yang membutuhkan hidup kecuali mereka. Betapa mahalnya biaya hanya untuk tak didakwa tak mengenal bagsa sendiri. Dan sekiranya aku tidak memberikan uang belanja, mungkin selama sehari ini aku belum lagi makan. Apa sesungguhnya mereka makan sehari-hari? Aku belum lagi tahu.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 254)

Ya, memang belum banyak yang bisa kudapatkan dalam diriku. Jean Marais bercita-cita mengisi hidup dengan lukisan-lukisannya, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis sampai mendapatkan kemashuran sebanyak itu? Hanya untuk memburu kepuasan diri semata? Kau tidak adil, Minke, kalau dengan memburu kepuasan saja bisa mendapatkan kemashuran. Tidak adil! Orang-orang lain bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapat kemashuran, hanya untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa.
Dan kau tidak beda dari orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi dari Trunodongso. Itu kalau kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang, Minke?
Dan teringatlah aku pada Khouw Ah Soe. Dia telah mengisi hidupnya. Juga Pribumi Filipina yang mencoba manghalau Spanyol, mereka telah mengisi hidupnya. Dan menghalau Amerika Serikat.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 279)

Belum jamannya seorang berkaki telanjang mencoba memulai percakapan dengan yang bersepatu. Dalam cerita-cerita nenek moyang, yang berkasut dan bersepatu hanya para pandita dan para dewa. Dan sepatu oleh orang-orang sederhana ini dianggap telah mewakili kekuasaan Eropa, dianggap senyawa dengan senapan dan meriam kompeni. Mereka lebih takut pada sepatu daripada belati dan parang, pedang, atau pun keris, tombak. Kalian hampir-hampir tepat, Herbert, Sarah dan Miriam de la Croix: mereka sudah berhasil dibikin sedemikian rendahnya, oleh bangsa Eropa, oleh pembesar-pembesar Pribumi sendiri. Mereka sudah sedemikian penakutnya, ketakutan sebagai pesangon dari kekalahan terus-menerus selama tigaratus tahun di medan-perang menghadapi peradaban Eropa.
Nah, Kommer, masih juga aku tak mengenal bangsa sendiri? Orang masih akan menganggap aku kurang penuh, tertawa di belakang punggungku, hanya karena aku cuma bisa menulis Belanda? Aku sudah bisa menjawab: biar Cuma secuwil, aku sudah mulai mengenal bangsa sendiri, bangsa tani ini.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 357-358)

Dari lampu-lampu jalanan dapat kulihat mereka menjadi gelisah mengetahui masuknya seorang dokter dalam kehidupan Truno. Ah, betapa yang serba Eropa menganiaya kedamaian batin mereka. Aku merasa tak mampu membuka percakapan lebih lanjut. Sadarlah aku pada adanya jarak berabad antara aku dengan mereka. Jarak berabad! Inilah mungkin yang dikatakan oleh guru sejarah dulu: jarak sosial, boleh jadi juga jarak sejarah. Dalam satu bangsa, dengan satu asal makan dan satu asal minum, di atas satu negeri, bahkan dalam satu andong, bisa terjadi suatu jarak, belum atau tidak terseberangi. Kami seandong berdiam diri dengan gapaian pikiran masing-masing.
Minke. (Anak Semua Bangsa, p. 361)